Onion Club - Onion Head - Onion-kun

20 Maret 2013

PW

Diposting oleh Hanifa Vidya Rizanti di 17.37

Sore hari yang santai, jemariku menekan next secara konstan karena tidak ada acara menarik di televisi. Apa-apaan channel-channel lokal ini, setiap sore mengulang-ulang gosip selebriti yang hampir sama saja dengan gosip selebriti kemarin. Walau bedapun, aku tidak tertarik. Pada gosip. Pada selebriti. Apalah itu.
Berita. Aku ingin menonton berita! Seharian di kantor membuatku sumpek, mau tidur... kurang dari satu jam lagi maghrib. Lagipula tidak baik tidur jam sore begini.
Kuletakkan remote di atas meja, lalu mengganti isi tangan kananku dengan pisang goreng buatan Mama di sebelah remote. Ini adalah pisang ke... ah, sudahlah. Keberapapun bukan masalah. Anyway, nanti malam saja menonton beritanya. Acara pada layar televisi berhenti pada channel lokal yang memainkan serial kartun Tom and Jerry. Lebih baik daripada gosip, menurutku.
Sekonyong-konyong Mama datang, duduk di sisi kiriku, mengambil lengan kiriku dan memijat-mijatnya. Aku melongo. Sejak kapan Mama jadi tukang pijat? Tumben. Biasanya sepulang kerja, aku dibiarkan saja menonton televisi sendirian, kadang juga bersama Pita. Tapi aku malas menonton dengan adik semata wayangku itu. Mengapa, sih, perempuan suka sekali menonton gosip? Kalau sudah menikah nanti, siapapun istriku akan kuharamkan menonton acara gosip murahan itu.
“Tumben mijetin,” aku meringis.
Mama meringis juga. “Nggak papa. Yuki, makan lagi. Makan yang banyak pisangnya, Nak,”
Sebelah alisku melengkung, tak yakin. Hmm, aku tahu. Mama kalau bertingkah aneh begini pasti ada yang mau ia sampaikan, atau ia tanyakan, lalu biasanya ini adalah pembicaraan yang sensitif sehingga Mama agak takut untuk bertanya padaku.
“Mama kenapa, sih?” selidikku, sambil memasukkan potongan pisang goreng terakhir di tanganku ke mulut. “Ayo bilang,”
“Nggak papa, kok, kamu ini dibilangin!” Mama ngeyel, tetap memijat-mijat lengan kiriku. “Kamu capek, kan? Makan yang banyak,”
Tanpa perlu dititah, aku pasti makan dengan senang hati, kok. Seperti biasanya, kan? Ada-ada saja Mama ini. Ya sudah kalau tidak mau bicara, aku akan makan lagi...
“Mama mau tanya soal PW tuh, Mas!”
Aku masih mengunyah cemilan sore ini ketika Pita datang dari arah dapur, membawa empat gelas jus mangga di atas nampan, lalu duduk di kananku setelah sebelumnya meletakkan nampan berikut gelasnya di atas meja.
“Heehh, Pita!” tegur Mama.
“PW itu apa?” gumamku tak peduli, entah pada siapa. Mataku terarah pada Tom yang menyiapkan dinamit untuk Jerry di layar kaca.
“Pendamping wisuda, Mas! Jangan pura-pura bodo, dong!”
Ya maaf kalau aku bodoh, aku memang tidak tahu lalu harus bagaimana?
Memang, sih, besok adalah hari aku wisuda. Wisuda sarjana, Strata 1. Aku menoleh pada Mama lagi.
“Kenapa? Mama nggak bisa dateng besok?”
“Eh, bukan itu...” Mama berhenti memijat.
“Cewek, Mas, cewek!” Aduh, Pita mencubit pundakku. “Maksudnya tuh Mas Yuki udah punya pacar apa belum, sih? Kalo punya, besok diajak dateng wisuda. Mama kepingin tau. Mas Yuki nggak pernah cerita apa-apa soal cewek sih, seumur hidup!”
Lah, apa yang mau diceritakan? Dari dulu, kan, memang tidak ada anak perempuan yang pernah dekat denganku. Barang satupun tidak ada. Masa’ sih Mama pikir aku tidak normal? Aku menoleh pada Mama.
“Bener Mama mau tanya itu?” selidikku.
“Iya,” sahut Mama singkat, sambil manyun-manyun. Hahaha, lucunya!
“Hahaha, apa sih, Mama ini?” aku terbahak pelan. “Aku nggak punya pacar, TTM (teman tapi mesra), atau apalah itu, Ma,”
“Tuh, kan, Ma!” celetuk Pita. “Aku bilang apa? Nggak mungkin Mas Yuki bisa punya pacar. Orang dingin gitu, judes, sok cool, siapa yang mau?”
“Ya nggak gitu juga kali!” protesku, tersinggung. “Ngapain harus lapor-lapor ke kamu, ‘Pit, Mas habis ditembak Rista tapi Mas nolak.’ gitu? Kayaknya nggak penting,”
“Siapa Rista??” serobot Mama.
“Ada, temen—“
“Putri kampus, Ma!” potong Pita. Well, aku tidak perlu menjelaskan. Tapi bagian ‘putri kampus’ itu tidak penting. Bilang saja teman lain fakultas, cukup kan? “Tuh, kan, Mas Yuki tuh gitu, Ma!”
“Gitu gimana, sih?!” gumamku tak enak, seolah aku ini homoseksual atau bagaimana!
“Coba, ya, Tari itu suka sama Mas Yuki sejak dari SD. Tapi Mas Yuki adem ayem aja. Nolak enggak, yang ada malah nyuekin. Kasian kan, si Tari?!”
“Nolak gimana, dia nembak aja enggak—aduh!!”
Inilah Pita. Kalau ada yang tidak sesuai keinginannya, terutama mengenai aku, dia cemberut lalu mencubit lenganku. Mencubit dengan ganas. Sakit sekali. Aku punya adik perempuan yang buas! Kasihan sekali lelaki yang kelak menjadi suaminya.
“Yuki, bener Pita,” Mama angkat bicara. “Kalau kamu nggak suka sama Tari, bilang aja sama dia. Kasian anaknya, suka dari SD sampai sekarang tapi nggak ditanggapi itu sakit, Nak. Aduh padahal anaknya baik banget, sederhana, penurut, pemalu. Padahal Mama setuju banget, lho, kalau Mas Yuki mau sama Tari...”
Ini Mama lagi. ‘Kan sudah kubilang, Tari itu nggak pernah nembak. Pernah juga bilang suka, nggak minta jadi pacar, kan? Nggak balik bertanya bagaimana perasaanku, kan? Lalu apa yang harus kujawab kalau dia tidak bertanya apapun? Yang ada waktu itu dia langsung ngacir pulang karena malu. Dasar cewek malu-maluin...
“Iya, iya,” aku manggut-manggut saja menanggapi nasihat Mama.
“Eh eh, Mas Yuki, Mama tanya lagi, ya,” Mama mau tanya saja pakai ijin. “Mas Yuki nggak lagi suka sama seseorang gitu?”
Aku mendelik heran. “Mama kebelet mantu, ya? Daritadi nanya pendamping wisuda, cewek, Tari...”
“Aduh, Mama beneran. Mama mau tau aja, anak-anaknya Mama ini lagi bagaimana keadaannya,”
“Pasti nggak ada,” seloroh adikku. “Mas Yuki itu, hatinya seperti namanya, dingin seperti salju! Aku yakin yang bisa mencairkan salju itu cuma Mentari, alias Tari, alias sahabat sehidup semati sepenanggunganku,”
Nah, sekali lagi, adikku yang berisik dunia-akhirat ini membuktikan ke-sotoy-annya.
“Sok tau kamu. Emang matahari doang yang bisa bikin salju cair? Salju dikasih garem juga bisa cair,” jelasku, sesuai ilmu sains. Benar, kan?
Tapi, sepertinya Pita salah mengartikan penjelasan ilmiahku. Dia melotot seolah sepasang bola matanya akan mencelat keluar.
“Jadi Mas Yuki suka sama cewek?!” desaknya.
“Memangnya kenapa, sih?!” dengusku sebal. “Kalau iya kenapa, kalau nggak kenapa?”
“Yang mana, iya apa nggak?!” Mama juga mendesakku. Duh, menjelang hari wisudaku, kenapa aku harus diberondong pertanyaan-pertanyaan aneh dari perempuan seisi rumah begini, sih?
Ah, sudahlah. Terserah saja.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Iya, ada. Seneng?”
Dan sepertinya aku salah bicara.
“SIAPA?! Kok nggak bilang?! Itu pacar kah?! Dia suka Mas Yuki juga? Aku ‘kan harus bilang sama Tari! Ya Allah kasian Tari!”
“SIAPA?! Heh, nggak pernah bilang! Anak mana? Temen sekolah? Temen kampus? Temen sekantor??”
Inilah perempuan, kalau bertanya dan protes suka berondongan. Tidak bisa kalem sedikit. Jangan ditiru, di rumah, di sekolah, di tempat umum, di manapun!
“Pelan, pelan,” aku memberi isyarat tangan kepada dua perempuan di sampingku yang terbakar api penasaran. “Pertama, aku nggak merasa hal ini perlu digembar-gemborkan ke seisi rumah. Kedua, kami saling suka tapi karena beberapa alasan nggak pacaran. Ketiga, besok dia pasti datang pas wisuda, jadi tenang, ya.”
“SUMPAH?!” pekik Pita. Sudah dikasih tau tenang, kok, masih aja! “Mas, nggak mungkin! Mas bohong! Mas nggak boleh jatuh cinta selain sama Tari. Aku nggak mau punya saudara ipar selain Tari. Aku nggak ridho!”
“Siapa butuh ridho-mu?” tutupku malas. Pertanyaan retoris ini membuat bibir kecil adikku mengerucut, diam seketika. Bagus sekali, sebab ocehannya yang meledak-ledak mengenai Tari itu kerapkali membuat telingaku mbledug.
Mama menepuk pahaku pelan, sehingga aku refleks menoleh.
“Temen sekampus, ya?” terkanya, kali ini dengan suara yang lembut. “Anaknya baik, kan?”
Ah, Mama ini!
“Mama lihat besok aja, ya?” balasku, juga lembut disertai senyum manis. Mama merengut karena ternyata aku tidak mau memberi petunjuk.
“Mas pasti mau ngelakuin legenda wisuda di kampus kita itu, kan?”
Manik mataku melirik Pita lagi. Kali ini ia bertanya dengan suara lebih rendah, tapi tetap terdengar creepy dan bernada mendesak. Agaknya Pita cocok menjadi anggota kepolisian divisi interogasi.
“Legenda apa?”
“Legenda terkenal itu. Kalau si cowok yang wisuda hari itu minta ke cewek pasangannya untuk pake topi toga dan bawa piagam kelulusannya si cowok, trus mereka difoto bareng, akan jadi jodoh sehidup-semati. Bohong kalau Mas Yuki nggak pernah denger!”
“Oh, legenda aneh itu,” gumamku. “Legenda apanya! Dongengnya pak rektor kali, biar banyak yang cepet wisuda. Pinter banget akalnya,”
“Mas Yuki!” gerutu Pita. Wajahnya merah padam, menahan gemas bercampur kesal.
“Ahahaha,” aku terkekeh geli. “Udah, ‘kan, tanya-jawabnya? Aku mau mandi, gerah.”

* * *


Sejujurnya acara wisuda ini lumayan membosankan juga. ini formalitas saja, ‘kan? Ijazah sudah dibagikan di fakultas, wisuda ini hanya peresmiannya saja. Aku sudah menguap lebih dari lima kali semenjak sambutan dari ketua panitia. Ini saja baru sambutan pertama, belum sambutan-sambutan lain. Repotnya, karena duduk di barisan paling depan, setiap kali menguap aku harus berhati-hati agar tidak ketahuan. Tidak sopan rasanya menguap di hari kelulusan, walau sesungguhnya mahasiswa seantero Indonesia juga sudah tahu: prosesi wisuda itu lama dan membosankan.
“Tadi malem tidur jam berapa, Ki?”
Duduk manis di kiriku, Rista bertanya (tepatnya lagi, berbisik) tanpa mengalihkan pandangannya dari sambutan ketua panitia. Begitu juga aku, menjawab (baca: berbisik) tanpa memandangnya.
“Jam 12. Nggak bisa tidur dua jam,”
“Aku nggak bisa tidur, deg-degan nunggu pagi,”
“Oh,” aku meringis sesaat.
Aku benar-benar tidak bisa tidur dua jam. Kalau biasanya aku tidur jam 10 malam, entah bagaimana tadi malam aku tidak bisa tidur cepat. Aku tidak tak sabar menunggu prosesi wisuda seperti Rista. Justru yang aku pikirkan adalah janjiku kemarin sore kepada Pita, Mama, lalu tidak ketinggalan Papa yang juga menunggu.
Bagaimana kalau dia tidak datang? Enak sekali kemarin sore bibirku menjanjikan dia akan datang, padahal aku tidak menghubunginya sama sekali. Saat itu aku cuma... entahlah. Aku begitu yakin dia akan datang. Pasti, tidak ragu sama sekali. Selama ini dia tidak sedikitpun lelah berkeliaran di sekitarku, masa’ di hari upacara kelulusanku dia justru tidak datang?
Namun seandainya dia bener-benar tidak datang, sudahlah. Dia juga punya urusan lain. Lagipula, masih ada banyak hari baik untuk memperkenalkannya pada keluargaku. Tidak harus hari ini.

* * *

Mama memelukku erat. Aku tidak perlu melukiskan betapa bahagianya Mama melihatku memakai toga, serta membawa piagam kelulusan. Mama meneteskan air mata.
Papa sengaja mengambil cuti sehari dari kantor demi putra sulungnya yang belum berguna ini. Papa memelukku, menepuk punggungku dan berkata, “Alhamdulillah, sukses selalu, Nak,”
“Alhamdulillaah. Aamiin, Pa,”
Sedangkan Pita... dia tidak ada kuliah hari ini. Dia tidak berkata apa-apa kecuali,
“Mas, selamat. Mana pacarmu?”
Benar-benar tanpa basa-basi. Baru juga aku keluar dari acara di gedung rektorat, sudah disambut pertanyaan macam ini.
“Kalo mau tau, tunggu sampai aku selesai,” jawabku ketus.
“Emang sekarang belum selesai?”
“Belum,” jawabku. “Masih mau foto-foto sama anak-anak, tuh,”
Aku menunjuk teman-temanku yang sedang berfoto norak nan bahagia, antara yang memakai toga, dan belum memakai toga alias belum lulus.
“Ya sudah, sana. Mama sama Papa nunggu di sini aja. Habis ini kita makan siang bareng, ya,” putus Mama.
“Pacarmu bawa sini, ajak makan sekalian,”
Wuah, Papa menambahkan dengan air muka serius. Dua rius, deh. Di rumah, puluhan kali aku berkata aku tidak punya pacar, dan tampaknya tidak seorangpun yang percaya. Semuanya menganggap bahwa orang yang kusukai adalah pacarku. Sejak kapan?
Aku heran dengan Pita yang mengintil di belakang saat aku berjalan menuju gerombolan anak-anak jurusanku, teknik elektro.
“Ngapain kamu?” tanyaku risi.
“Mas mau ngelakuin legenda itu ‘kan sama salah satu cewek di situ?! Nggak usah ngeles, I’m watching! Aku sudah nyuruh Tari ke sini. Dia mau datang habis ngajar,”
Sepasang alisku bertaut. “Buat apa?”
“Kita lihat, lebih baik mana pacarnya Mas apa Tari?”
“Kamu ini!” dengusku kesal. Capek juga lama-lama ditodong soal Tari terus. “Terserah. Tapi kalau dia kecewa, itu salahmu, setuju?”
Adikku mematung.
Well, benar saja. Adikku yang manis ini menunggu abangnya dengan setia, dengan mata setajam belati, memerhatikan setiap gerak-gerikku. Dia—seperti biasa—membaur dengan akrab pada teman-temanku, namun entah mengapa dia tidak membiarkanku berfoto berdua dengan siapapun. SIAPAPUN, bahkan laki-laki. Pita selalu menyela. Jangan-jangan dia mulai berpikir aku akan memakaikan topi toga pada Pandu dan memintanya membawa piagam kelulusanku, lalu berfoto bersama.
Aku belum berubah orientasi seksual sampai harus mempercayai dan melakukan dongeng itu... dengan sesama pria.

* * *

Acara foto-foto selesai, baterai kameraku pun habis. Mati-ti-ti. Tidak apa-apa, aku sudah banyak berfoto dengan Papa, Mama, Pita, Pandu, Wawan, Yoan... semuanya. Wisuda itu yang paling dinanti bukan prosesinya, namun foto gila bersama setelah prosesi, memakai toga dan membawa piagam kelulusan. (Yuki Putra Permana, 21 tahun, mantan-mahasiswa-yang-nggak-kapok-jadi-mahasiswa)
Walau sejujurnya, aku agak malu dengan mengintilnya Pita. Tapi sudahlah, untung saja Pita hanya selisih satu tahun denganku. Dia ceria, periang, cepat akrab dengan teman-temanku. Sudah dari dulu malah akrabnya, bukan baru hari ini. Teman-temanku tidak terlihat risi atau terganggu dengan kehadiran Pita di tengah foto bersama kami. Malah lagi, walau Pita tak kuberi tahu, ada saja teman laki-lakiku yang diam-diam naksir Pita dan meminta nomor ponsel Pita dariku.
Mereka itu, yang minta-minta nomor ponsel Pita, belum tahu kalau Pita itu kelihatannya saja manis. Aslinya... ya begitulah.
“Maaasss!” Pita bergelayut manja, tidak sadar bahwa tubuhnya bergelambir banyak lemak. Aku menyeret kaki dengan berat menuju tempat Papa dan Mama menunggu. “Mana pacarmu?”
“Aku bilang aku nggak punya pacar, adekku yang budeg...”
“Aahh, whoever lah! Si anu itu pokoknya!” rengeknya.
'Si Anu'? Hahaha, kosakata Pita sungguh tidak biasa. Aku manggut-manggut mahfum. Dari jauh kulihat Papa dan Mama sedang berbincang dengan seseorang. Belum sempat aku berpikir dan menerka siapa orang itu, Pita melepaskan tanganku dan berlari dengan riang.
“Tariii!!!”
Oh, Tari.
Seperti biasa, Pita bercipika-cipiki dengan sahabatnya mungilnya itu, seperti sudah lama tidak bertemu. Padahal aku tahu mereka baru bertemu kurang dari seminggu ini. Kadang aku tidak habis pikir, betapa perbedaan gender sungguh tidak adil. Sesama perempuan cipika-cipiki, biasa, lucu. Sesama lelaki cipika-cipiki, yeyek, homo. Ini. Terlalu. Banget.
Aku menghampiri mereka berempat. Tari masih berseragam manis dan cerah, selayaknya guru Taman Kanak-Kanak pada umumnya. Ada sedikit coretan spidol merah dan biru pada lengan kemejanya. Sepertinya setelah mengajar, dia langsung datang kemari.
“Sudah lama kamu?” tanya adikku.
“Nggak, baru aja. Kalau nggak ada Oom sama Tante, aku celingukan di sini. Hehehe,”
Mama dan Papa tertawa pelan.
“Itu bunganya nggak dikasihkan?” tanya Mama.
“Oh, iya, Tante,”
Malu-malu, gadis itu melirik padaku yang berdiri di sebelah Pita. Tangannya mengulurkan buket bunga kecil, berisi tiga batang mawar biru padaku. Aku menerimanya disertai senyum tipis.
“Selamat, Kak, atas kelulusannya,” ujarnya pelan.
“Makasih, ya,”
Dia nampak setengah bingung, sedikit celingukan seperti mencari sesuatu. Melihat dari wajahnya, aku langsung tahu apa yang dicarinya: gadis yang kusukai. Pasti Pita sudah memancing dia kemari dengan iming-iming akan bertemu dengan gadis yang kusukai. Dasar anak bodoh.
“Eh iya, Tari belum foto sama Mas Yuki, kan?” celetuk Pita, tiba-tiba.
Tanganku merogoh saku celana, mengeluarkan kamera digital.
“Nih,” kuserahkan benda kecil itu pada Pita. “Baterainya habis,”
Dia mendengus panjang. Dari besarnya kekecewaan yang tampak di wajahnya, aku yakin Pita hanya mengizinkanku berfoto berdua hanya dengan satu orang, yaitu Tari. Apa boleh buat kalau begitu...
“Pa, hapeku tadi mana? Masih di Papa?” tanyaku pada Papa.
Papa mengangguk. Tangannya merogoh saku celana, mengeluarkan ponselku.
“Pakai itu aja. Papa fotokan, ya?”
“Oke,”
Tari memandangku, tanpa berkedip selama lima detik. Air mukanya seolah bertanya tumben-hari-ini-baik-sekali-menawarkan-foto-bersama-dan-aku-nggak-dicuekin. Sebaiknya dia tidak bertanya, sebab hari ini mood-ku sedang sangat bagus.
Kuserahkan buket bunga pemberian Tari pada Mama. Mama hendak membawakan piagam kelulusanku juga, tapi tak kuberikan.
“Ayo, Papa siap,” Papa memberi aba-aba.
Tanpa banyak bicara, aku berdiri di sebelah Tari, di bawah sebuah pohon akasia yang rindang. Aku melirik gadis mungil di sampingku ini, yang berfoto dengan gaya sederhana. Bahkan bisa dibilang dia tidak bergaya sama sekali. Dia nampak tegang, seperti mau foto KTP saja.
“Tiga...” Papa menghitung mundur.
Perlahan, kulepaskan topi toga hitam yang sejak tadi bertandang di kepalaku. Kupasangkan di kepala gadis gugup di sebelahku. Ketegangannya hilang berganti pandangan bingung yang ditujukan kepadaku, sambil memegangi kepalanya seolah akan jatuh.
“Eh, lho, topinya kenapa aku...?” tanyanya. “Ngg—“
“Panas,” jawabku sekenanya. “Mau bawa piagamku? Kamu, ‘kan, nggak kuliah, mau tau rasanya wisuda?”
Sepasang pupil hitam itu membesar beberapa mili. Penelitian ini sudah terbukti, bahwa pupil mata seseorang akan membesar beberapa mili saat menatap orang yang dicintainya.
Hei, jangan-jangan saat ini pupilku juga membesar. Kuharap si kecil ini tidak menyadarinya.
“Boleh, Kak?” tanyanya tak percaya. “Kok tumben jadi baik, kenapa... eh, maksudku tiap hari baik, kok. Nggg....”
Kalimatnya mulai berantakan karena gugup. Aku tahu selama ini aku tidak pernah mengacuhkanmu, tapi jangan begitu, dong! Apa salahnya kalau hari ini aku baik? Aku baik begini juga karena Mama dan Pita yang mendesakku untuk memberi tahu mereka bahwa... kamulah orangnya.
Dari ekspresi terkejutnya, serta bingung itu, aku yakin dia belum pernah mendengar tentang legenda wisuda kampusku. Sesuai yang kuperkirakan, Pita belum bercerita banyak padanya agar dia semakin terdorong untuk datang kemari.
“Mau apa nggak?” tanyaku serius, sekali lagi.
“Eh, iya mau!” sahutnya ceria. Sepasang matanya berbinar saat menerima piagam kelulusan dari tanganku. Jemarinya mengusap piagam kaca itu, mengamati setiap inci sudutnya dengan lekat, serta seulas senyum merekah pada kedua bibirnya.
Satu setengah meter di sebelah Tari, Mama memandangku sambil meringis geli, disertai tepuk tangan dengan hebohnya. Seandainya di tempat ini masih ada orang selain kami, aku akan sangat malu. Sementara Pita menutup mulut dengan kedua tangannya. Kenapa dia itu, terkejut? Bahagia? Atau justru mau muntah?
“Tari!” teriak Pita. Yang dipanggil refleks menoleh.
“Ya?”
Pita, GAWAT!!!
Dari belakang kepala Tari, kuberikan isyarat pada Mama dan (terutama sekali!) Pita, untuk tidak mengatakan hal-hal aneh. Kuletakkan telunjuk kanan di bibir, kupasang mimik memohon sememelas yang bisa wajahku persembahkan. Tolong, Pita-ku yang manis, mengertilah!
Mengertilah, akan kukatakan secara langsung dari bibirku pada Tari, tapi tidak hari ini. Akan kukatakan saat aku mampu mempertanggung jawabkan perasaan dan kata-kataku. Akan kukatakan bukan hanya kepadanya, tetapi akan kupinta dia kepada orang tuanya. Karenanya, sekarang kumohon rahasiakan dulu perkara ini.
“Kamu cantik!” pekik Pita. “Kamu cocok banget pake topi itu!”
Tari tertawa kecil melihat kelakar aneh Pita. Ah, syukurlah Pita mengerti isyarat kecil yang kuberikan. Mama dan Pita saling menggenggam tangan dengan erat. Aku tidak tahu apa maksudnya, bahasa tubuh perempuan. Tapi dari raut itu, aku pikir mereka terharu. Dasar perempuan.
Bukannya aku percaya dongeng itu, namun aku tidak menemukan cara yang lebih tepat untuk memberi tahu keluargaku selain cara ini. Aku bisa saja mengatakannya secara langsung, tapi kalau begitu di mana kejutannya? Hahaha. :p
“Hoi, anak-anak, ayo! Kamera stand by!” seru Papa. Aku dan Tari menoleh ke kamera bersamaan. Kali ini gadis itu tidak terlihat tegang, sama sekali. “Tiga... dua... satu.”


2 komentar:

Ketika Rahmat Bertasbih on Maret 24, 2013 mengatakan...

menarik...

Hanifa Vidya Rizanti on Maret 25, 2013 mengatakan...

arigatou ne~ #bow

Posting Komentar

 

VINIVIDIVIVI Copyright © 2009 Baby Shop is Designed by Ipietoon Sponsored by Emocutez