Pagi yang cerah di sebuah kota X, provinsi X, negara X, yang mempunyai presiden dengan inisial SBY (nah lo?), burung berkicau damai, bersahut-sahutan dengan deru bajaj... eh, maksudnya deru angin pagi yang menghembuskan hawa sejuknya. Wah, pokoknya pagi yang fresh from the oven banget lah!
Semua makhluk, mulai dari kutu beras sampe manusia terjaga dari hibernasi di malam hari, kecuali... satu anak gadis di kota X, jalan X blok X nomer XX, kode pos XXXXX (penting nggak sih?). Sebut aja namanya AL. Bukan, bukan Arjosari-Landungsari ya, tapi Airima Lestari (akhirnya kesebut juga). Biasa dipanggil Airi, Rima, Tari, tapi kadang-kadang kalo dipanggil "Wooi!" noleh juga. Well, untuk sekarang dan seterusnya kita tetapkan dia bernama Airi, setuja?
Back to our topic, Airi ini nggak bangun-bangun dari tidurnya, padahal Vian, kakak laki-laki yang sekaligus merangkap sebagai ojek pribadi Airi sudah stand by setengah jam lebih untuk mengantar adiknya itu ke sekolah, sedangkan ia sendiri akan segera meluncur ke kampusnya.
"Hah!? Monyet itu belom bangun, Ma??!" pekik Vian pada mamanya.
"Hush! Airi itu adik kamu!" tegur mama pelan.
"Tapi kayak monyet! Liat aja, dia itu bangun tidur molor mulu, Ma!"
"Lho, tapi yang biasanya molor itu kan kebo, Vi?" tanya mama, disertai lirikan mata polos pada putranya.
Vian terdiam. Mamanya ini bener-bener nggak nyambung. Entah pura-pura nggak nyambung ato emang mama yang kelewat bolot, di saat telat seperti ini masih sempat mempertanyakan apakah yang suka molor itu monyet ato kebo! Nggak penting banget, Ma! pikir Vian.
* * *
Sesampai di sekolahnya, SMA Negeri X kota X, Airi tergesa-gesa berlari menghampiri gerbang sekolah yang jelas-jelas sudah ditutup oleh Mang Udin, sang penjagal sekolah sejak setengah jam lalu. Eh, salah, maksudnya penjaga sekolah. Sesampainya di tempat yang dituju, Airi melambaikan tangan pada Mang Udin. Mang Udin tergesa-gesa menghampiri Airi tanpa membuka pintu gerbang.
"Aduuuh Neng Airi, nggak bisa nggak telat apa?" tanya Mang Udin sedih.
Airi nggak menjawab, malah membuka ranselnya dan mengeluarkan sebungkus cemilan kacang telur kesukaan Mang Udin, bikin Mang Udin ngiler dalem hati. (emang bisa?)
"Mang Udin, pliiiiiisss!! Bukain ya, Mang? Yayayayayayayaa?? Ini Airi beliin spesial buat Mang Udin yang paling ganteng!" Airi ngerayu, sembari pasang tampang melas ala anjing chihuahua belom makan tiga minggu. Disodorkannya kacang telur itu pada Mang Udin.
"Aduh si Eneng, Mang Udin teh nggak enak sama Pak Hakim, tiap hari ngelolosin Eneng yang telat terus..." dalih Mang Udin nggak kalah melasnya. Tapi Airi nggak mau kalah.
"Ayo dong, Mang, tolooong banget!" Airi masih meminta. Kali ini ia kembali mengeluarkan sesuatu dari ranselnya, yaitu dua batang cokelat, sebungkus wafer, sebungkus besar keripik singkong, sebungkus besar bidaran keju, sekotak pocky cokelat-strawberry, dan sebotol minuman isotonik.
Mang Udin tercengang, apalagi setelah Airi begitu saja menyerahkan semuanya pada Mang Udin hingga lelaki itu kebingungan membawanya.
"Neng Airi teh mau sekolah ato jual cemilan? Kok ranselnya isi cemilan semua?" tanya Mang Udin yang masih bingung.
"Itu buat Mang Udin aja, tapi bukain gerbangnya, Mang! Pliiiiss! Airi ada ulangan Matematika hari ini, jam pelajaran kedua. Airi janji ini terakhir kalinya Airi telat, oke Mang?" pinta Airi. Matanya masih berbinar-binar, dan tentu saja anjing chihuahua.
"Tapi, Eneng tiap hari ngomong gitu..."
"Janji, Mang! Besok Airi nggak ngomong gitu lagi!" potong Airi. "Jadi bukain gerbangnya, ya? Ayo Mang, ayo Mang, ayo Mang, ayo Mang, ayo Mang, ayo Mang..."
"Ya sudah, iya Mang Udin bukain, tapi bener lho Neng, ini yang terakhir!" putus Mang Udin pasrah. Pasti besok begini lagi, pikirnya.
"Asiiiiik, Mang Udin baik! Janji, Mang!!" pekik Airi girang. Sip dah, gua selamet! Hihihihihi, pikir Airi nakal.
* * *
Sebenernya ulangan Matematika itu bohong, wong nyatanya hari ini nggak ada jadwal pelajaran Matematika kok. Airi berlari girang seperti anjing kecil di padang rumput menuju kelasnya, dan masuk membaur dengan teman-teman sekelasnya. Tapi sebelum ia sempat meletakkan pantat di bangkunya, Lila sahabatnya berteriak.
"Ri! Pagi bener kamu dateng!!"
Airi batal duduk dan mengalihkan kepalanya pada Lila, lalu nyengir kuda.
"Hehehehehehehehehehee..." tawa Airi terdengar aneh, membuat Lila sahabatnya itu menghampirinya.
"Hehehe apaan? Kira-kira kek kalo telat, jam 10 baru dateng ke sekolah, kalo sampe Pak Hakim tau kamu bisa..."
"AIRI!!"
Seisi kelas yang tadinya seramai pasar senggol kini berubah jadi sesunyi kuburan Cina, gara-gara bentakan tegas seorang laki-laki yang memanggil Airi. Airi dan semua kepala yang ada di situ refleks menoleh ke asal suara yang ternyata dari ambang pintu kelas.
OMIGOD, PAK HAKIM!!! pekik Airi dalam hati.
"Mampus kon!" desis Lila yang melotot pada Airi.
"Mampus aku!" rintih Airi pada dirinya sendiri sambil menepuk jidat.
"Airi, ikut saya ke kantor!" titah Pak Hakim tegas, membuat kaki Airi lemas.
* * *
"... bla bla bla... telat terus, bla bla... jam 10 pagi, bla bla bla... sudah berkali-kali, bla bla bla... tindakan tegas, bla bla... Bapak bosan menasihati kamu, Airi!" Pak Hakim mengakhiri ceramahnya yang sepanjang jalan kenangan.
Sama Pak, saya juga bosen dinasihati terus, hihihi. Airi tertawa dalam pikirannya.
Setelah Pak Hakim mengakhiri kalimatnya, Airi bertanya, "Saya boleh kembali ke kelas, Pak? Saya lapar, Pak, mau makan bekal,"
Pak Hakim tercengang, bener-bener bingung, apakah siraman rohaninya barusan agar Airi tidak terlambat ke sekolah itu masuk di telinga Airi atau malah terpental jauh dari telinga. Masalahnya, gadis itu tubuhnya memang di kantor guru, tapi pikirannya nggak jauh-jauh dari bekal mi goreng spesial buatan sang mama.
"Airi, dengarkan kata-kata saya ini. Kalau sampai besok kamu masih terlambat, saya akan ambil tindakan tegas! Mengerti!?"
Penekanan kata 'besok' dalam kalimat Pak Hakim membuat bulu kuduk Airi agak merinding. Horor gitu deh rasanya. Dengan suara pelan Airi menjawab, "Iya, Pak, Airi ngerti..."
Airi tidak peduli lagi. Yang penting sekarang baginya adalah makan bekal. Jadi ia melakukan segala cara untuk kabur dari hadapan Pak Hakim, termasuk mengiyakan saja omongan Pak Hakim tanpa memerhatikan arti di balik kalimat beliau.
“Jadi, sudah boleh makan belum, Pak?” tanya Airi, lagi.
Begitulah kalo perut mengalahkan otak...
* * *
"Anyiiiiing!!" desis Airi gemas, melirik pada Lila yang khusyuk menyedot habis isi teh botol mereka. Airi menumpahkan kekesalannya di kantin sambil duduk berdua dengan Lila di hadapannya. "Kenapa aku dimarahin sih? Aku cuma telat dikit, kok!"
Lila cengo. Kok ada aja telat 3 jam dibilang telat dikit.
"Ya," kata Lila sembari menjauhkan teh botolnya. " 'Dikit' banget kok, Ri,"
Airi menatap Lila dengan mata bertanya what-happen-aya-naon-with-'dikit'? sebab Lila menekankan kata itu.
"Wah, wah... Kayaknya ada yang perlu jam weker untuk hadiah ulang tahun!"
Lagi-lagi seseorang meledek Airi, seorang cowok yang Airi hapal mati suara baritonnya, adalah milik Sagara, atau biasa di panggil Saga thok. Bukan, bukan 'Saga thok', tapi 'Saga'. Hanya Saga, nggak pake 'thok'.
Airi hanya melirik sebal dan menyahut dengan nada sinis. "In your dream, huh!"
"Hahaha," Saga ketawa garing sambil duduk di sebelah Airi bersama semangkuk bakso yang baru aja dibelinya, tapi langsung dimakan satu baksonya sama Airi, membuat bola mata Saga membesar. "Heh! Monyet tuh makannya pisang, bukan bakso!"
"Kam... hm... nyet... uuu..." Airi tidak bisa menyahut karena mulut kecilnya penuh dengan sebuah bakso ukuran jumbo. Lila menyodorkan teh botol pada Airi. Saga ngeledek Airi dengan menirukan Airi gerak-gerak mulut nggak jelas, sampe bibirnya maju-maju gitu.
"Makanya, makan, makan! Ngomong, ngomong!" ujar Lila.
"Kampret!" umpat Airi setelah baksonya turun ke perut. "Aku bukan monyet!"
"Saudara-saudara, tenang," ujar Arvin, sahabat Saga sekaligus pacarnya Lila yang langsung datang dan meletakkan pantat di sebelah Lila. "Suami istri kerjanya kok tiap hari bertengkar mulu! Sekali-sekali bercinta napa?!"
"IDIH?!" sahut Airi dan Saga bersamaan dengan ekspresi jijik. Bukan, bukan karena yang ngarang cerita ini belum mandi.
"Ya, kalian tuh bagusnya langsung ke KUA aja," tambah Lila gemes.
Airi dan Saga masih menyahut berbarengan. "Aku? Dia? KUA?? Ogah!"
"Hehe, kompak banget, cocok kan?" Lila tertawa usil, seusil yang buat cerita ini.
"Cocok?! Sama orang kayak gini!? Males banget!" masih bersamaan. Mereka saling pandang dengan tatapan sama sekali tidak mesra, dan saling berkata, "Heh, jangan ikut-ikut napa!?"
Kedua sahabat mereka terbahak-bahak melihatnya. Emang kalo jodoh itu nggak ke Ancol(?).
* * *
Lagi-lagi malam cepat berakhir dan sang surya memancarkan sinar hangatnya, menembus kaca bening jendela kamar Airi. Sinar hangat itu menyusup masuk melalui celah kelopak mata Airi, dan menggelitik untuk membuka mata gadis itu. Seusai membuka mata besarnya, Airi mengangkat kedua tangan, meregangkan tubuhnya yang penat. Ia berjalan mendekati jendela, membuka gorden jendela sehingga cahaya matahari tak bisa masuk, dan ia segera menuju ranjangnya... untuk tidur lagi!
Airi memang kebo tercantik yang pernah ada di muka bumi.
Seseorang mengetuk pintu kamar Airi.
"Airi, bangun sayang, nanti telat..."
"Ngantuk, Maaa..." Airi menyahut ogah dengan mata terpejam. Setengah bagian dirinya lagi makan di Pizza Hut, setengahnya lagi makan di warteg.
Mama Airi membuka pintu dan segera mendekati putrinya yang masih lelap semanis putri tidur. Beliau berbisik kecil, "Tebak siapa yang ada di ruang tamu kita?"
"Kak Vian, trus bibirnya yang maju satu senti nungguin aku bangun..." jawab Airi asal.
"Bukan, Sayang, tapi Pak Hakim!!"
"Haaah..." Airi mendesah tidak yakin dengan kening berkerut tapi matanya belum terbuka. Sepertinya ia mendengar ada kata-kata 'Pak Hakim' masuk di telinganya. "Siapa, Ma?"
"Pak Hakim, Sayang... Wali kelas kamu, guru Matematika..."
Airi terdiam. Detik selanjutnya, bola matanya membesar nyaris sebesar bola bilyard. Ia bangkit dan menatap mamanya bingung, heran, takut!
"Kok bisa?? Kenapa, Ma!?" desis Airi panik.
"Nggak tau, Sayang. Tapi Pak Hakim itu ganteng ya, Ri, Mama suka,"
Airi membalikkan kepalanya, dan berbisik pada dinding kamarnya. "Ganteng? Idiiih..."
* * *
Airi melangkahkan kaki ke kelas dengan gusar. Sesampainya di kelas dan duduk di bangkunya, ia berpaling pada Lila yang duduk di hadapannya dan menatapnya heran.
"Kok tumben nggak telat, Ri?" Lila tersenyum.
"Buruk, Lila, buruk!!" desis Airi frustasi.
"But... why?"
"Karena... Pak Hakim jemput aku di rumah tadi pagi! Dan katanya aku bakalan dijemput sama Pak Hakim untuk seterusnya sampai aku belajar nggak telat lagi!"
"Hah??" Lila melotot tak percaya. "Itu... BAGUS BANGET! Hahahahahahahaa..."
"LILA!" Airi menyentak sebal.
"Sori," Lila menurunkan volume suaranya setelah ia sadar suaranya memecah keheningan kelas di pagi hari. "Jadi?"
"Jadi aku cantik," jawab Airi asal, Lila pasang ekspresi jijik. "Ya nggak, lah! I'm totally in trouble! Mana bisa aku bangun pagi...?"
"Hahaha, minta hadiah jam weker dari ayang Saga dong," Lila meledek, bikin Airi tambah panas. Tapi Airi sedang nggak ada mood untuk bercanda. Ia pusing. Seharusnya ia tahu bahwa yang dimaksud Pak Hakim dengan 'tindakan tegas' kemarin adalah benar-benar tindakan tegas! Dan nggak main-main.
Seandainya ia nggak telat, mungkin ini semua nggak akan terjadi, dan nggak mungkin Mama Airi bilang Pak Hakim itu ganteng, iya kan?
0 komentar:
Posting Komentar