Tak terhingga sepanjang masa..
Hanya memberi, tak harap kembali
Masih ingat lagu itu? Lagu jaman anak-anak banget. Waktu TK (atau SD), kita semua pasti diajari lagu itu sama guru di sekolah. Nyanyi bareng-bareng, sambil tepuk tangan, tapi wajah melongo polos (iya, kan? Hayo ngaku). Waktu itu aku juga nyanyi seperti itu, dan dengan gampangnya bilang, “Aku sayang Mamaku!” tapi apa benar aku sudah sayang sama Mamaku?
Kayaknya belum.
Kalaupun iya, memangnya sebesar apa rasa sayangku ke Mama? Apakah sebesar rasa sayang Mama ke aku, atau malah kurang dari itu? Atau jangan-jangan aku lebih sayang pacarku (waktu aku punya pacar dulu) daripada Mama? Astagfirullah, jangan sampai yang begitu terjadi. Semoga aku tidak seperti itu.
Seberapa sayang aku pada Mama? Cekidot!
Sejak kecil, aku suka banget sama yang namanya ulang tahun. Aku selalu ingin ulang tahunku dirayakan besar-besaran seperti teman-temanku, tapi apa? Mama cuma ngundang DUA ORANG teman dekatku. Yah, Mama sendiri memang ngasih kado mainan masak-masakan yang aku mau (dan kalian tahu? Sebulan kemudian nggak terpakai lagi) dan bikin kue tart, tapi aku kan nggak puas. Kado yang aku dapat paling-paling cuma dari Mama, dua temanku itu, dan saudara-saudaraku, yang kalo ditotal juga nggak nyampe 10 kado! Males banget nggak, sih?
Sedangkan ketika ulang tahun Mama, aku pernah ngasih apa ya? Oh ya, ucapan selamat! Iya, itu doang. Sekalinya aku pernah ngasih, itu cuma Nata de Coco (aneh nggak sih, kasih kado Nata de Coco?) gelasan seharga 1000-an yang harganya memang terjangkau buat anak seumuranku. Dan lagi, belinya di warung sebelah rumahku. Waktu aku kasih Mama sambil bilang “Selamat ulang tahun,” Mama berterima kasih dan mencium pipiku. Sementara aku sendiri nggak ingat, apakah aku sudah bilang terima kasih atau belum waktu Mama membuatkanku kue dan memberi aku kado.
Waktu aku SMA juga nggak jauh-jauh beda. Bedanya, aku nggak minta kado sama Mama. Aku bahkan nggak mengingatkan Mama kalau sebentar lagi ulang tahunku. Tapi Mamaku, dengan senyuman lebar, riang, dan sumringah, beliau bertanya, “Mbak Vivi tahun ini mau kado apa? Mau dibuatin makanan apa aja?”
Sementara waktu Mama ulang tahun, lagi-lagi, aku dan adik-adikku cuma mengucapkan selamat ulang tahun setelah sholat maghrib. Mama berterima kasih dan mencium kami satu-persatu. Sedangkan aku masih saja nggak ingat, apakah aku sudah berterima kasih sewaktu Mama memberikan kado dan membuatkan banyak makanan di hari ulang tahunku.
Lain waktu sekolah, lain pula waktu kuliah. Kayaknya setiap hari Mama selalu telpon aku. Emangnya nggak habis itu pulsa? Kayaknya (lagi) Mama nggak mikirin pulsanya. yang ditanya sama Mama mesti “Sudah makan, Mbak? Gimana kuliahnya? Sehat aja kan? Di kamar ada makanan nggak? Duit di ATM tinggal berapa?”
Tapi nggak sekalipun aku menanyakan kabar Mama di sana. Kalau Mama bilang beliau lagi sakit flu, barulah aku tahu dan menanyakan keadaannya. Kalau tidak, ya sudah, aku nggak tanya apa-apa. Begitulah aku yang katanya sayang sama Mama.
Sewaktu aku menghadapi sibuk-sibuknya praktikum, Papa menyuruhku mengumpulkan berkas untuk mengurus beasiswa. Tapi aku nggak mengumpulkan apa-apa. Aku sudah capek, sangat capek karena setiap hari harus berangkat pagi dan pulang malam. Aku nggak sempat ke dekanat karena dekanat dan tempat kuliahku jaraknya kira-kira 400 kilometer, jalan kaki, sementara kuliahku nggak bisa ditinggal meski cuma sebentar.
Aku dimarahi Papa karenanya. Papa menganggap aku nggak mau membantu untuk dapat beasiswa provinsi yang jumlahnya lumayan besar itu. Di saat seperti itu, hanya Mamaku yang sama sekali nggak marah, dan mengerti kalau aku sedang sakit karena kecapekan kuliah. Mama cuma bilang, “Ya sudah, nggak sempat diurus juga nggak apa-apa. Yang penting kamu sehat dulu. Kan masih ada beasiswa pemkot nanti,”
Senakal-nakalnya aku, dan semarah-marahnya Mama padaku, Mama nggak pernah memutuskan hubungan ibu-anak denganku, seperti aku/pacarku yang nggak cocok sedikit langsung putus. Tapi tetap saja, aku menangis ketika putus sama pacar seolah dunia bakal kiamat. Tapi ketika aku marah sama Mama, aku berulang kali berteriak, “Mama jahat!! Mama nggak sayang aku! Aku nggak mau Mama!!!”
Meskipun aku seburuk itu, Mama masih bertanya, “Mbak Vivi mau makan apa?”
Kalau Allah memberiku umur panjang, aku menikah dan punya anak, apa aku bisa menyayangi anakku seperti Mama menyayangiku, kalau menyayangi Mama saja aku nggak bisa? Aku tidak tahu, tapi kuharap aku bisa. Semoga saja, ya? :)
Sebaik-baik kasih sayang adalah yang tulus tidak mengharap imbalan. Dan setulus-tulus kasih sayang, tidak ada yang melebihi tulusnya kasih sayang Ibu kepada anaknya...
*hapus air mata dan ingus dulu ah!
3 komentar:
:(
terharu ih, jadi ingat ibuku nan jauh di sana.
mampir ke blogku mbak
http://pojokberbagihal.blogspot.com/
vi,,,smoga kelak kamu bisa jd anak yg bisa memmbanggakan ortu (terutama mama) jg kluarga.
amiin yaa robbal aalamiin....
Posting Komentar