Onion Club - Onion Head - Onion-kun

29 November 2012

TANGKAP!

Diposting oleh Hanifa Vidya Rizanti di 01.48
Prakata:
Assalamu'alaykum, halo pembaca :D

Lagi males pake bahasa bule, jadi pake bahasa persatuan. Akhir-akhir ini setiap nulis post baru, aku nggak nge-share di facebook, tapi tetep aja ada yang nge-view (yang jelas bukan aku). Aku nggak tau kalian siapa, kalian di mana, gimana kalian bisa sampai blog ini, tapi... thanks. Really. :')

Jadi kemaren, tiba-tiba aku diminta adekku bikin cerpen berdasarkan iklan di tipi. Katanya kalo gak bikin cerpen, dia gak boleh ikut UAS. Gak sopan lagi minta tolongnya lewat mention twitter. Coba aja gurunya punya twitter, pastilah aku mention juga.

Bingung mau pake iklan apa. Iklan di Indonesia mah nggak ada yang berkesan, berarti. Sekalinya ada, edisi Ramadhan, sayangnya itu iklan rokok. Emoh lah aku. Mikir mikir mikir cari iklan bagus, ternyata memang iklan di Indonesia nggak ada yang bermutu. Apaan tuh, "NYOT NYOT DIKENYOT, NYOT!!" ?

Dari hasil ngeyutub, akhirnya nemu iklan ini. Yah, lumayan bermutu dan ada maknanya, gak sekedar "NYOT NYOT DIKENYOT, NYOT!!" sumpah yeyek -______-"




Ini dia ceritanya, judul: TANGKAP!

Siapa tidak kenal dia? Kaus bernomor punggung 0 besar, tubuh gendutnya, wajah bundarnya, dan semangatnya. Ya, semangat laki-laki itu begitu besar. Bukan, ia bukan terkenal karena semangat membaranya membawa keberhasilan. Sebaliknya, ia berulang kali jatuh dan jatuh, hingga ia tak bisa menghitung sudah berapa kali ia terjatuh.
Adalah ia bernama Hap (bukan nama sebenarnya), 22 tahun, pemuda kampung kecil Mendem Duren, di salah satu kecamatan di Jakarta Utara. Tanya pada orang di kampung Mendem Duren, siapa yang tidak tahu Hap, yang senang menangkap apapun sejak kanak-kanak? Yang pandai mencairkan suasana dengan kepolosan tingkahnya? Yang meski jago menangkap, ingin jadi kiper, tetapi tidak sekalipun berhasil menangkap bola dengan baik?
Subuh di hari ke sepuluh Ramadhan itu baru saja tiba. Seusai menunaikan kewajiban sholatnya, Hap tidak lekas pulang dari mushola Istiqomah. Ia berdoa, atau tepatnya, mengeluh. Mengeluh pada Allah. Mempertanyakan nasibnya yang tidak sedikitpun membaik di kancah persepakbolaan.
Apa yang kurang dariku, ya Rabbi?
Apa usahaku sejak kecil masih saja tidak cukup?
Apa doaku selama ini kurang, ya Allah?
Kenapa orang lain bisa, aku tidak?
“Ya Allah, kenapa harus selalu gagal jadi kiper...?”
Tanpa disadarinya, sepasang bibir Hap berbisik lelah. Ia mendapati dirinya begitu lelah berusaha, begitu lelah berdoa, bahkan mengeluh kepada Allah ia juga sudah lelah. Impiannya, harapannya, bunga-bunga mimpinya untuk menjadi kiper bagai pungguk merindukan bulan. Semuanya terasa sia-sia saja.
“Kita nggak pernah tau hikmah dibalik kegagalan, Hap,”
Sebaris kalimat bijaksana datang dari belakang Hap, seolah menjawab kegalauan hati Hap. Hap celingukan mencari asal-muasal datangnya suara. Saat pupil matanya menangkap sesosok manusia duduk bersandar pada salah satu pilar mushola, Hap berbalik badan dengan cepat menghadap orang itu.
Seorang laki-laki muda berkacamata, berbaju koko putih, berkopiah hitam, memegang sebuah buku yang tengah dibaca. Ialah laki-laki yang menjawab Hap tadi, kini tersenyum pada Hap.
“Uje...?” ujar Hap lamat-lamat, setengah tidak percaya.
Laki-laki yang dipanggil Uje itu tetap tersenyum sembari berkata,
“Allah maha tahu apa yang terbaik untukmu, Hap,”
Di dalam sanubarinya, Hap meyakini hal ini. Ia tidak pernah lupa pesan Emaknya. Bagaimanapun hasilnya, jika semua usaha telah diupayakan, itulah yang terbaik bagi kita. Sesungguhnya Allah maha mengetahui, sedangkan manusia tidak.
“Teruslah ikhtiar, tangkap semua kebaikan,” sambung Uje.
Hap tercenung, dengan kepala tertunduk.

* * *

Sang raja siang masih malu-malu untuk keluar ke peraduannya, ketika Hap berjalan pulang dari mushola Istiqomah menuju rumahnya. Pandangannya masih tertunduk pada jalanan kampung yang mulai ramai penduduk beraktivitas. Tangan kanannya secara tidak sadar mengayunkan sajadah di genggamannya, dengan sangat lesu.
Sungguh benar nasihat Uje barusan. Ikhtiarlah dan berdoa, Hap, maka Allah akan memberikan yang terbaik untukmu. Hap sadar, tidak seharusnya ia berputus asa dari rahmat Allah. Bukankah Allah begitu menyanyanginya, dengan masih memberi Hap napas hingga saat ini untuk terus berikhtiar? Bukankah hidup ini adalah untuk ikhtiar dan tentang ikhtiar? Bagaimana Hap bisa lupa hal sepenting ini?
Hap hanya mampu berucap sesal dalam hatinya.
Ya Allah, maafin Hap...
“Kebakaran! KEBAKARAN!!!”
Hap seketika tersentak. Penduduk kampung berlari-lari dengan gusar melewatinya. Pak Soleh dan istrinya mendorong gerobak es serut mereka. Pak Rahmat tergesa-gesa membawa buntalan besar untuk diselamatkan, entah apa isinya. Pak Wawan mengangkut televisi 20 inch dengan susah payah. Tanpa sadar Hap ikut berlari dengan mereka, lalu ia berhenti, tak mengerti.
Kebakaran apa? Di mana? Siapa? Bagaimana bisa? Apa sudah ada yang memadamkannya?
Hai, Hap, mengapa harus lari juga? tanya hati Hap.
Tapi apa yang harus dilakukan pun, Hap tak tahu. Mana ia tahu cara memadamkan api? Memangnya ia pemadam kebakaran?
Tiba-tiba, sebelum hal ini terlintas di benaknya, tahu-tahu kedua tangan Hap telah menggenggam ponselnya. Ponsel yang tidak mahal, memang, tetapi cukup canggih untuk membuka browser dan terhubung ke internet.
Secara otomatis browser-nya terhubung ke Google, kala Hap membukanya. Jemari gempalnya mengetik dengan serampangan, “how to die fire” dan entah apa saja jawaban yang ditemukan oleh si mesin pencari. Banyak sekali!
Nanti saja. Yang paling penting saat ini adalah memanggil pemadam kebakaran. Kalau Hap tidak salah ingat, nomor darurat itu adalah 113. Maka Hap meneleponnya, dan wah, tersambung! Tidak pernah sebelumnya Hap menelepon nomor panggilan darurat.
“Selamat pagi, dengan siapa di mana?”
“Nama saya Hap!” sahut Hap gelagapan, kelewat tegas. “Kebakaran, di kampung Mendem Duren, kecamatan XX kelurahan YY Jakarta Utara!”
Setelah menutup telepon, sekonyong-konyong Hap berlari menuju asal penduduk berlari, mengikuti terang api yang membakar langit. Melewati beberapa tikungan, Hap sampai di tempat itu.
Ya, Hap kenal sekali tempat itu! Itu adalah rumah Neneng, teman sepermainan Hap sejak kanak-kanak. Ada apa ini? Mengapa?!
Hap tidak bisa berpikir lagi kala ia mendengar suara teriakan perempuan dari rumah itu. Suara yang Hap kenal sekali. Bukankah itu suaranya? Suara Neneng? Tapi bagaimana bisa, Neneng masih terperangkap di dalam api itu?
“Tolong! TOLOONGG...!!!”
Ah, sungguh Hap ingin marah. Ada apa dengan orang-orang ini? Mengapa mereka hanya sibuk memindahkan barang-barang?! Tidakkah satu saja dari mereka, berniat menolong Neneng?! Kemana juga pemadam kebakaran yang tadi Hap telepon? Mengapa belum sampai?!
“Teruslah ikhtiar, tangkap semua kebaikan,”
Bagai nyanyian, pesan Uje di mushola Istiqomah kembali terngiang di kedua daun telinga Hap. Benar, lakukan kebaikan. Jika tidak ada yang berniat menolong Neneng, maka inilah saatnya Hap beraksi. Saatnya ia menunjukkan ikhtiarnya kepada Sang Pencipta, Yang Maha Kuasa, Allah.
Ya. Tekad Hap sudah bulat, sebulat dirinya!
Maka, ia menerjang ke dalam kobaran api dengan penuh semangat, masih dengan sarung melingkar di pinggangnya. Dikibaskannya sajadah yang ada di genggaman untuk menghalau kobaran api yang berulang kali mencoba mencakar dirinya. Sebuah kayu membara hampir menimpanya, namun Hap menghalaunya dengan cekatan.
Ah, beruntung sekali ia selalu mengenakan sarung tangan kiper itu kemana-mana. Telapak tangannya yang berharga tidak terluka sedikitpun.
Di dalam rumah api itu, sambil tetap mencoba menahan panasnya, Hap celingukan mencari asal suara tangisan Neneng.
“Huuhuuhuuu...”
Tidak butuh waktu lama untuk Hap menemukan Neneng yang sedang jongkok berlindung di bawah tangga, menangis, dan melipat wajahnya dengan kedua tangan. Gadis kurus itu tampak semakin kering di tengah-tengah hembusan api di sekelilingnya.
“Neneng!” seru Hap.
Gadis yang dipanggil Neneng itu mengangkat kepala. Ia mengerjapkan mata. Entah karena matanya yang rusak karena kebanyakan menangis, ia yakin saat ini sedang melihat bola basket berbicara kepadanya. Benda bulat apa itu?
“Neneng, jump! Quickly! Come on!
Hap membentangkan kedua lengannya dengan semangat demi menolong temannya itu. Tidak lupa ia memberi kata-kata penyemangat dengan bahasa Inggrisnya yang kacau. Neneng masih bergeming tidak percaya, BOLA BASKET DARI MANA INI?! BISA BICARA PULA?!
“Hah?” gumam Neneng bingung.
Fiuh! Hap menghembuskan napas lelah.
“Udah, buruan panas, nih!” pintanya.
Keajaiban terjadi setelah Neneng mengucek kedua matanya. Bola basket itu berubah menjadi sosok Hap, pahlawan yang siap menolongnya!

* * *

Panasnya si jago merah tidak menyurutkan niat Hap untuk membopong Neneng keluar dengan selamat. Berkat ikhtiar gigihnya, kini mereka berhasil keluar dari rumah api. Tidak ada yang berubah dari Hap, kecuali wajahnya yang kini menghitam karena arang, kaus kipernya yang kotor, dan penduduk kampung... yang entah dari mana, berkumpul di depan rumah api, menyoraki keberhasilan Hap dengan suka cita penuh haru.
Tidak pernah sebelumnya Hap mendapat pujian dan apresiasi yang begini besar, hanya karena menyelamatkan nyawa temannya. Ah, Hap yang polos. Ini tidak sekedar ‘hanya’. Ia telah melakukan segala yang terbaik untuk menyelamatkan Neneng, dan atas izin Allah, Hap berhasil.
Hap menurunkan Neneng dari bopongannya. Syukurlah gadis itu masih bisa berjalan normal, walau jelas sekali ia masih sangat takut pasca kejadian barusan. Neneng dibawa oleh warga untuk ditenangkan dan diobati luka-lukanya.
Warga laki-laki, yang telah selesai mengangkut barang-barang dari rumah Neneng kini mengerumuni Hap, memberi ucapan selamat bertubi-tubi kepada Hap. Hap menerima salam mereka satu-persatu. Hap tidak pernah merasa sebelumnya, hari ini ia benar-benar telah menjadi pahlawan bagi Neneng.
“Hap, elu kagak kenape-nape, kan?”
“Hap, lu keren!”
“Hap, lu berani banget masuk ke api!”
“Iye, Hap, kite-kite pada gak berani masuk situ,”
“Iye, mustahil keluar rasanye. Tapi lu bisa!”
Hap hanya mengangguk dan tersipu malu, tidak bisa berkata-kata. Begitulah Hap, begitu rendah hati, hanya anggukan kecil yang datang darinya. Ia hanya mengikuti naluri hatinya, mendengarkan nasihat Uje, lalu tahu-tahu tubuhnya tergerak untuk menolong Neneng. Itu saja.
Kerumunan di sekitar Hap menyingkir, saat lima orang pemuda berkacamata hitam menghampiri Hap. Hap tahu benar siapa mereka. Klub sepak bola yang begitu diidolakannya... Chuters United!
Tria, sang kapten, menepuk pundak Hap yang masih ternganga tak percaya. Laki-laki itu berkata dengan mantap,
“Hap, bergabunglah bersama Chuters United!”
Inilah Hap, dan buah ikhtiarnya. Bagaimana ikhtiarmu?

-- END --



0 komentar:

Posting Komentar

 

VINIVIDIVIVI Copyright © 2009 Baby Shop is Designed by Ipietoon Sponsored by Emocutez