Sore hari yang
santai, jemariku menekan next secara konstan karena tidak ada acara
menarik di televisi. Apa-apaan channel-channel lokal ini, setiap sore mengulang-ulang
gosip selebriti yang hampir sama saja dengan gosip selebriti kemarin. Walau
bedapun, aku tidak tertarik. Pada gosip. Pada selebriti. Apalah itu.
Berita. Aku
ingin menonton berita! Seharian di kantor membuatku sumpek, mau tidur... kurang
dari satu jam lagi maghrib. Lagipula tidak baik tidur jam sore begini.
Kuletakkan
remote di atas meja, lalu mengganti isi tangan kananku dengan pisang goreng
buatan Mama di sebelah remote. Ini adalah pisang ke... ah, sudahlah.
Keberapapun bukan masalah. Anyway, nanti malam saja menonton beritanya. Acara
pada layar televisi berhenti pada channel lokal yang memainkan serial kartun
Tom and Jerry. Lebih baik daripada gosip, menurutku.
Sekonyong-konyong
Mama datang, duduk di sisi kiriku, mengambil lengan kiriku dan
memijat-mijatnya. Aku melongo. Sejak kapan Mama jadi tukang pijat? Tumben.
Biasanya sepulang kerja, aku dibiarkan saja menonton televisi sendirian, kadang
juga bersama Pita. Tapi aku malas menonton dengan adik semata wayangku itu.
Mengapa, sih, perempuan suka sekali menonton gosip? Kalau sudah menikah nanti,
siapapun istriku akan kuharamkan menonton acara gosip murahan itu.
“Tumben
mijetin,” aku meringis.
Mama meringis
juga. “Nggak papa. Yuki, makan lagi. Makan yang banyak pisangnya, Nak,”
Sebelah alisku
melengkung, tak yakin. Hmm, aku tahu. Mama kalau bertingkah aneh begini pasti
ada yang mau ia sampaikan, atau ia tanyakan, lalu biasanya ini adalah
pembicaraan yang sensitif sehingga Mama agak takut untuk bertanya padaku.
“Mama kenapa,
sih?” selidikku, sambil memasukkan potongan pisang goreng terakhir di tanganku
ke mulut. “Ayo bilang,”
“Nggak papa,
kok, kamu ini dibilangin!” Mama ngeyel, tetap memijat-mijat lengan kiriku.
“Kamu capek, kan? Makan yang banyak,”
Tanpa perlu
dititah, aku pasti makan dengan senang hati, kok. Seperti biasanya, kan?
Ada-ada saja Mama ini. Ya sudah kalau tidak mau bicara, aku akan makan lagi...
“Mama mau
tanya soal PW tuh, Mas!”
Aku masih
mengunyah cemilan sore ini ketika Pita datang dari arah dapur, membawa empat
gelas jus mangga di atas nampan, lalu duduk di kananku setelah sebelumnya
meletakkan nampan berikut gelasnya di atas meja.
“Heehh, Pita!”
tegur Mama.
“PW itu apa?”
gumamku tak peduli, entah pada siapa. Mataku terarah pada Tom yang menyiapkan
dinamit untuk Jerry di layar kaca.
“Pendamping
wisuda, Mas! Jangan pura-pura bodo, dong!”
Ya maaf kalau
aku bodoh, aku memang tidak tahu lalu harus bagaimana?
Memang, sih,
besok adalah hari aku wisuda. Wisuda sarjana, Strata 1. Aku menoleh pada Mama
lagi.
“Kenapa? Mama nggak bisa dateng besok?”
“Eh, bukan
itu...” Mama berhenti memijat.
“Cewek, Mas,
cewek!” Aduh, Pita mencubit pundakku. “Maksudnya tuh Mas Yuki udah punya pacar
apa belum, sih? Kalo punya, besok diajak dateng wisuda. Mama kepingin tau. Mas
Yuki nggak pernah cerita apa-apa soal cewek sih, seumur hidup!”
Lah, apa yang
mau diceritakan? Dari dulu, kan, memang tidak ada anak perempuan yang pernah
dekat denganku. Barang satupun tidak ada. Masa’ sih Mama pikir aku tidak
normal? Aku menoleh pada Mama.
“Bener Mama
mau tanya itu?” selidikku.
“Iya,” sahut
Mama singkat, sambil manyun-manyun. Hahaha, lucunya!
“Hahaha, apa
sih, Mama ini?” aku terbahak pelan. “Aku nggak punya pacar, TTM (teman tapi
mesra), atau apalah itu, Ma,”
“Tuh, kan,
Ma!” celetuk Pita. “Aku bilang apa? Nggak mungkin Mas Yuki bisa punya pacar.
Orang dingin gitu, judes, sok cool, siapa yang mau?”
“Ya nggak gitu
juga kali!” protesku, tersinggung. “Ngapain harus lapor-lapor ke kamu, ‘Pit,
Mas habis ditembak Rista tapi Mas nolak.’ gitu? Kayaknya nggak penting,”
“Siapa
Rista??” serobot Mama.
“Ada, temen—“
“Putri kampus,
Ma!” potong Pita. Well, aku tidak perlu menjelaskan. Tapi bagian ‘putri kampus’
itu tidak penting. Bilang saja teman lain fakultas, cukup kan? “Tuh, kan, Mas
Yuki tuh gitu, Ma!”
“Gitu gimana,
sih?!” gumamku tak enak, seolah aku ini homoseksual atau bagaimana!
“Coba, ya,
Tari itu suka sama Mas Yuki sejak dari SD. Tapi Mas Yuki adem ayem aja. Nolak
enggak, yang ada malah nyuekin. Kasian kan, si Tari?!”
“Nolak gimana,
dia nembak aja enggak—aduh!!”
Inilah Pita.
Kalau ada yang tidak sesuai keinginannya, terutama mengenai aku, dia cemberut
lalu mencubit lenganku. Mencubit dengan ganas. Sakit sekali. Aku punya adik
perempuan yang buas! Kasihan sekali lelaki yang kelak menjadi suaminya.
“Yuki, bener
Pita,” Mama angkat bicara. “Kalau kamu nggak suka sama Tari, bilang aja sama
dia. Kasian anaknya, suka dari SD sampai sekarang tapi nggak ditanggapi itu
sakit, Nak. Aduh padahal anaknya baik banget, sederhana, penurut, pemalu.
Padahal Mama setuju banget, lho, kalau Mas Yuki mau sama Tari...”
Ini Mama lagi.
‘Kan sudah kubilang, Tari itu nggak pernah nembak. Pernah juga bilang suka,
nggak minta jadi pacar, kan? Nggak balik bertanya bagaimana perasaanku, kan?
Lalu apa yang harus kujawab kalau dia tidak bertanya apapun? Yang ada waktu itu
dia langsung ngacir pulang karena malu. Dasar cewek malu-maluin...
“Iya, iya,”
aku manggut-manggut saja menanggapi nasihat Mama.
“Eh eh, Mas
Yuki, Mama tanya lagi, ya,” Mama mau tanya saja pakai ijin. “Mas Yuki nggak
lagi suka sama seseorang gitu?”
Aku mendelik
heran. “Mama kebelet mantu, ya? Daritadi nanya pendamping wisuda, cewek,
Tari...”
“Aduh, Mama beneran. Mama mau tau aja, anak-anaknya Mama ini lagi bagaimana keadaannya,”
“Pasti nggak
ada,” seloroh adikku. “Mas Yuki itu, hatinya seperti namanya, dingin seperti
salju! Aku yakin yang bisa mencairkan salju itu cuma Mentari, alias Tari, alias
sahabat sehidup semati sepenanggunganku,”
Nah, sekali
lagi, adikku yang berisik dunia-akhirat ini membuktikan ke-sotoy-annya.
“Sok tau kamu.
Emang matahari doang yang bisa bikin salju cair? Salju dikasih garem juga bisa
cair,” jelasku, sesuai ilmu sains. Benar, kan?
Tapi,
sepertinya Pita salah mengartikan penjelasan ilmiahku. Dia melotot seolah
sepasang bola matanya akan mencelat keluar.
“Jadi Mas Yuki
suka sama cewek?!” desaknya.
“Memangnya
kenapa, sih?!” dengusku sebal. “Kalau iya kenapa, kalau nggak kenapa?”
“Yang mana,
iya apa nggak?!” Mama juga mendesakku. Duh, menjelang hari wisudaku, kenapa aku
harus diberondong pertanyaan-pertanyaan aneh dari perempuan seisi rumah begini,
sih?
Ah, sudahlah.
Terserah saja.
Aku menarik
napas dalam-dalam. “Iya, ada. Seneng?”
Dan sepertinya aku salah bicara.
“SIAPA?! Kok
nggak bilang?! Itu pacar kah?! Dia suka Mas Yuki juga? Aku ‘kan harus bilang
sama Tari! Ya Allah kasian Tari!”
“SIAPA?! Heh,
nggak pernah bilang! Anak mana? Temen sekolah? Temen kampus? Temen sekantor??”
Inilah
perempuan, kalau bertanya dan protes suka berondongan. Tidak bisa kalem
sedikit. Jangan ditiru, di rumah, di sekolah, di tempat umum, di manapun!
“Pelan,
pelan,” aku memberi isyarat tangan kepada dua perempuan di sampingku yang
terbakar api penasaran. “Pertama, aku nggak merasa hal ini perlu
digembar-gemborkan ke seisi rumah. Kedua, kami saling suka tapi karena beberapa
alasan nggak pacaran. Ketiga, besok dia pasti datang pas wisuda, jadi tenang,
ya.”
“SUMPAH?!”
pekik Pita. Sudah dikasih tau tenang, kok, masih aja! “Mas, nggak mungkin! Mas
bohong! Mas nggak boleh jatuh cinta selain sama Tari. Aku nggak mau punya
saudara ipar selain Tari. Aku nggak ridho!”
“Siapa butuh
ridho-mu?” tutupku malas. Pertanyaan retoris ini membuat bibir kecil adikku
mengerucut, diam seketika. Bagus sekali, sebab ocehannya yang meledak-ledak
mengenai Tari itu kerapkali membuat telingaku mbledug.
Mama menepuk
pahaku pelan, sehingga aku refleks menoleh.
“Temen
sekampus, ya?” terkanya, kali ini dengan suara yang lembut. “Anaknya baik,
kan?”
Ah, Mama ini!
“Mama lihat
besok aja, ya?” balasku, juga lembut disertai senyum manis. Mama merengut karena ternyata aku tidak mau memberi petunjuk.
“Mas pasti mau
ngelakuin legenda wisuda di kampus kita itu, kan?”
Manik mataku
melirik Pita lagi. Kali ini ia bertanya dengan suara lebih rendah, tapi tetap
terdengar creepy dan bernada mendesak. Agaknya Pita cocok menjadi anggota
kepolisian divisi interogasi.
“Legenda apa?”
“Legenda
terkenal itu. Kalau si cowok yang wisuda hari itu minta ke cewek pasangannya
untuk pake topi toga dan bawa piagam kelulusannya si cowok, trus mereka difoto
bareng, akan jadi jodoh sehidup-semati. Bohong kalau Mas Yuki nggak pernah
denger!”
“Oh, legenda
aneh itu,” gumamku. “Legenda apanya! Dongengnya pak rektor kali, biar banyak
yang cepet wisuda. Pinter banget akalnya,”
“Mas Yuki!”
gerutu Pita. Wajahnya merah padam, menahan gemas bercampur kesal.
“Ahahaha,” aku
terkekeh geli. “Udah, ‘kan, tanya-jawabnya? Aku mau mandi, gerah.”
* * *
Sejujurnya
acara wisuda ini lumayan membosankan juga. ini formalitas saja, ‘kan? Ijazah sudah
dibagikan di fakultas, wisuda ini hanya peresmiannya saja. Aku sudah menguap
lebih dari lima kali semenjak sambutan dari ketua panitia. Ini saja baru
sambutan pertama, belum sambutan-sambutan lain. Repotnya, karena duduk di
barisan paling depan, setiap kali menguap aku harus berhati-hati agar tidak
ketahuan. Tidak sopan rasanya menguap di hari kelulusan, walau sesungguhnya
mahasiswa seantero Indonesia juga sudah tahu: prosesi wisuda itu lama dan
membosankan.
“Tadi malem
tidur jam berapa, Ki?”
Duduk manis di
kiriku, Rista bertanya (tepatnya lagi, berbisik) tanpa mengalihkan pandangannya
dari sambutan ketua panitia. Begitu juga aku, menjawab (baca: berbisik) tanpa
memandangnya.
“Jam 12. Nggak
bisa tidur dua jam,”
“Aku nggak
bisa tidur, deg-degan nunggu pagi,”
“Oh,” aku
meringis sesaat.
Aku
benar-benar tidak bisa tidur dua jam. Kalau biasanya aku tidur jam 10 malam,
entah bagaimana tadi malam aku tidak bisa tidur cepat. Aku tidak tak sabar
menunggu prosesi wisuda seperti Rista. Justru yang aku pikirkan adalah janjiku
kemarin sore kepada Pita, Mama, lalu tidak ketinggalan Papa yang juga menunggu.
Bagaimana
kalau dia tidak datang? Enak sekali kemarin sore bibirku menjanjikan dia akan
datang, padahal aku tidak menghubunginya sama sekali. Saat itu aku cuma...
entahlah. Aku begitu yakin dia akan datang. Pasti, tidak ragu sama sekali. Selama
ini dia tidak sedikitpun lelah berkeliaran di sekitarku, masa’ di hari upacara
kelulusanku dia justru tidak datang?
Namun
seandainya dia bener-benar tidak datang, sudahlah. Dia juga punya urusan lain.
Lagipula, masih ada banyak hari baik untuk memperkenalkannya pada keluargaku.
Tidak harus hari ini.
* * *
Mama memelukku
erat. Aku tidak perlu melukiskan betapa bahagianya Mama melihatku memakai toga,
serta membawa piagam kelulusan. Mama meneteskan air mata.
Papa sengaja
mengambil cuti sehari dari kantor demi putra sulungnya yang belum berguna ini.
Papa memelukku, menepuk punggungku dan berkata, “Alhamdulillah, sukses selalu,
Nak,”
“Alhamdulillaah.
Aamiin, Pa,”
Sedangkan
Pita... dia tidak ada kuliah hari ini. Dia tidak berkata apa-apa kecuali,
“Mas, selamat.
Mana pacarmu?”
Benar-benar
tanpa basa-basi. Baru juga aku keluar dari acara di gedung rektorat, sudah
disambut pertanyaan macam ini.
“Kalo mau tau,
tunggu sampai aku selesai,” jawabku ketus.
“Emang
sekarang belum selesai?”
“Belum,”
jawabku. “Masih mau foto-foto sama anak-anak, tuh,”
Aku menunjuk
teman-temanku yang sedang berfoto norak nan bahagia, antara yang memakai toga,
dan belum memakai toga alias belum lulus.
“Ya sudah,
sana. Mama sama Papa nunggu di sini aja. Habis ini kita makan siang bareng, ya,”
putus Mama.
“Pacarmu bawa
sini, ajak makan sekalian,”
Wuah, Papa
menambahkan dengan air muka serius. Dua rius, deh. Di rumah, puluhan kali aku
berkata aku tidak punya pacar, dan tampaknya tidak seorangpun yang percaya.
Semuanya menganggap bahwa orang yang kusukai adalah pacarku. Sejak kapan?
Aku heran
dengan Pita yang mengintil di belakang saat aku berjalan menuju gerombolan
anak-anak jurusanku, teknik elektro.
“Ngapain
kamu?” tanyaku risi.
“Mas mau
ngelakuin legenda itu ‘kan sama salah satu cewek di situ?! Nggak usah ngeles,
I’m watching! Aku sudah nyuruh Tari ke sini. Dia mau datang habis ngajar,”
Sepasang
alisku bertaut. “Buat apa?”
“Kita lihat,
lebih baik mana pacarnya Mas apa Tari?”
“Kamu ini!”
dengusku kesal. Capek juga lama-lama ditodong soal Tari terus. “Terserah. Tapi
kalau dia kecewa, itu salahmu, setuju?”
Adikku
mematung.
Well, benar
saja. Adikku yang manis ini menunggu abangnya dengan setia, dengan mata setajam
belati, memerhatikan setiap gerak-gerikku. Dia—seperti biasa—membaur dengan akrab
pada teman-temanku, namun entah mengapa dia tidak membiarkanku berfoto berdua
dengan siapapun. SIAPAPUN, bahkan laki-laki. Pita selalu menyela. Jangan-jangan
dia mulai berpikir aku akan memakaikan topi toga pada Pandu dan memintanya
membawa piagam kelulusanku, lalu berfoto bersama.
Aku belum
berubah orientasi seksual sampai harus mempercayai dan melakukan dongeng itu...
dengan sesama pria.
* * *
Acara
foto-foto selesai, baterai kameraku pun habis. Mati-ti-ti. Tidak apa-apa, aku
sudah banyak berfoto dengan Papa, Mama, Pita, Pandu, Wawan, Yoan... semuanya.
Wisuda itu yang paling dinanti bukan prosesinya, namun foto gila bersama
setelah prosesi, memakai toga dan membawa piagam kelulusan. (Yuki Putra
Permana, 21 tahun, mantan-mahasiswa-yang-nggak-kapok-jadi-mahasiswa)
Walau
sejujurnya, aku agak malu dengan mengintilnya Pita. Tapi sudahlah, untung saja
Pita hanya selisih satu tahun denganku. Dia ceria, periang, cepat akrab dengan
teman-temanku. Sudah dari dulu malah akrabnya, bukan baru hari ini. Teman-temanku
tidak terlihat risi atau terganggu dengan kehadiran Pita di tengah foto bersama
kami. Malah lagi, walau Pita tak kuberi tahu, ada saja teman laki-lakiku yang
diam-diam naksir Pita dan meminta nomor ponsel Pita dariku.
Mereka itu,
yang minta-minta nomor ponsel Pita, belum tahu kalau Pita itu kelihatannya saja
manis. Aslinya... ya begitulah.
“Maaasss!”
Pita bergelayut manja, tidak sadar bahwa tubuhnya bergelambir banyak lemak. Aku
menyeret kaki dengan berat menuju tempat Papa dan Mama menunggu. “Mana pacarmu?”
“Aku bilang
aku nggak punya pacar, adekku yang budeg...”
“Aahh, whoever
lah! Si anu itu pokoknya!” rengeknya.
'Si Anu'? Hahaha, kosakata Pita sungguh tidak biasa. Aku
manggut-manggut mahfum. Dari jauh kulihat Papa dan Mama sedang berbincang dengan
seseorang. Belum sempat aku berpikir dan menerka siapa orang itu, Pita
melepaskan tanganku dan berlari dengan riang.
“Tariii!!!”
Oh, Tari.
Seperti biasa,
Pita bercipika-cipiki dengan sahabatnya mungilnya itu, seperti sudah lama tidak
bertemu. Padahal aku tahu mereka baru bertemu kurang dari seminggu ini. Kadang
aku tidak habis pikir, betapa perbedaan gender sungguh tidak adil. Sesama
perempuan cipika-cipiki, biasa, lucu. Sesama lelaki cipika-cipiki, yeyek, homo.
Ini. Terlalu. Banget.
Aku
menghampiri mereka berempat. Tari masih berseragam manis dan cerah, selayaknya
guru Taman Kanak-Kanak pada umumnya. Ada sedikit coretan spidol merah dan biru
pada lengan kemejanya. Sepertinya setelah mengajar, dia langsung datang kemari.
“Sudah lama
kamu?” tanya adikku.
“Nggak, baru
aja. Kalau nggak ada Oom sama Tante, aku celingukan di sini. Hehehe,”
Mama dan Papa
tertawa pelan.
“Itu bunganya
nggak dikasihkan?” tanya Mama.
“Oh, iya,
Tante,”
Malu-malu,
gadis itu melirik padaku yang berdiri di sebelah Pita. Tangannya mengulurkan
buket bunga kecil, berisi tiga batang mawar biru padaku. Aku menerimanya
disertai senyum tipis.
“Selamat, Kak,
atas kelulusannya,” ujarnya pelan.
“Makasih, ya,”
Dia nampak
setengah bingung, sedikit celingukan seperti mencari sesuatu. Melihat dari
wajahnya, aku langsung tahu apa yang dicarinya: gadis yang kusukai. Pasti Pita
sudah memancing dia kemari dengan iming-iming akan bertemu dengan gadis yang
kusukai. Dasar anak bodoh.
“Eh iya, Tari
belum foto sama Mas Yuki, kan?” celetuk Pita, tiba-tiba.
Tanganku
merogoh saku celana, mengeluarkan kamera digital.
“Nih,”
kuserahkan benda kecil itu pada Pita. “Baterainya habis,”
Dia mendengus
panjang. Dari besarnya kekecewaan yang tampak di wajahnya, aku yakin Pita hanya
mengizinkanku berfoto berdua hanya dengan satu orang, yaitu Tari. Apa boleh
buat kalau begitu...
“Pa, hapeku
tadi mana? Masih di Papa?” tanyaku pada Papa.
Papa
mengangguk. Tangannya merogoh saku celana, mengeluarkan ponselku.
“Pakai itu
aja. Papa fotokan, ya?”
“Oke,”
Tari
memandangku, tanpa berkedip selama lima detik. Air mukanya seolah bertanya
tumben-hari-ini-baik-sekali-menawarkan-foto-bersama-dan-aku-nggak-dicuekin.
Sebaiknya dia tidak bertanya, sebab hari ini mood-ku sedang sangat bagus.
Kuserahkan
buket bunga pemberian Tari pada Mama. Mama hendak membawakan piagam kelulusanku
juga, tapi tak kuberikan.
“Ayo, Papa
siap,” Papa memberi aba-aba.
Tanpa banyak
bicara, aku berdiri di sebelah Tari, di bawah sebuah pohon akasia yang rindang.
Aku melirik gadis mungil di sampingku ini, yang berfoto dengan gaya sederhana.
Bahkan bisa dibilang dia tidak bergaya sama sekali. Dia nampak tegang, seperti
mau foto KTP saja.
“Tiga...” Papa
menghitung mundur.
Perlahan, kulepaskan
topi toga hitam yang sejak tadi bertandang di kepalaku. Kupasangkan di kepala
gadis gugup di sebelahku. Ketegangannya hilang berganti pandangan bingung yang
ditujukan kepadaku, sambil memegangi kepalanya seolah akan jatuh.
“Eh, lho,
topinya kenapa aku...?” tanyanya. “Ngg—“
“Panas,”
jawabku sekenanya. “Mau bawa piagamku? Kamu, ‘kan, nggak kuliah, mau tau
rasanya wisuda?”
Sepasang pupil
hitam itu membesar beberapa mili. Penelitian ini sudah terbukti, bahwa pupil
mata seseorang akan membesar beberapa mili saat menatap orang yang dicintainya.
Hei,
jangan-jangan saat ini pupilku juga membesar. Kuharap si kecil ini tidak
menyadarinya.
“Boleh, Kak?”
tanyanya tak percaya. “Kok tumben jadi baik, kenapa... eh, maksudku tiap hari
baik, kok. Nggg....”
Kalimatnya
mulai berantakan karena gugup. Aku tahu selama ini aku tidak pernah
mengacuhkanmu, tapi jangan begitu, dong! Apa salahnya kalau hari ini aku baik?
Aku baik begini juga karena Mama dan Pita yang mendesakku untuk memberi tahu
mereka bahwa... kamulah orangnya.
Dari ekspresi
terkejutnya, serta bingung itu, aku yakin dia belum pernah mendengar tentang
legenda wisuda kampusku. Sesuai yang kuperkirakan, Pita belum bercerita banyak
padanya agar dia semakin terdorong untuk datang kemari.
“Mau apa
nggak?” tanyaku serius, sekali lagi.
“Eh, iya mau!”
sahutnya ceria. Sepasang matanya berbinar saat menerima piagam kelulusan dari
tanganku. Jemarinya mengusap piagam kaca itu, mengamati setiap inci sudutnya
dengan lekat, serta seulas senyum merekah pada kedua bibirnya.
Satu setengah
meter di sebelah Tari, Mama memandangku sambil meringis geli, disertai tepuk
tangan dengan hebohnya. Seandainya di tempat ini masih ada orang selain kami,
aku akan sangat malu. Sementara Pita menutup mulut dengan kedua tangannya.
Kenapa dia itu, terkejut? Bahagia? Atau justru mau muntah?
“Tari!” teriak
Pita. Yang dipanggil refleks menoleh.
“Ya?”
Pita, GAWAT!!!
Dari belakang
kepala Tari, kuberikan isyarat pada Mama dan (terutama sekali!) Pita, untuk
tidak mengatakan hal-hal aneh. Kuletakkan telunjuk kanan di bibir, kupasang
mimik memohon sememelas yang bisa wajahku persembahkan. Tolong, Pita-ku yang
manis, mengertilah!
Mengertilah,
akan kukatakan secara langsung dari bibirku pada Tari, tapi tidak hari ini.
Akan kukatakan saat aku mampu mempertanggung jawabkan perasaan dan kata-kataku.
Akan kukatakan bukan hanya kepadanya, tetapi akan kupinta dia kepada orang
tuanya. Karenanya, sekarang kumohon rahasiakan dulu perkara ini.
“Kamu cantik!”
pekik Pita. “Kamu cocok banget pake topi itu!”
Tari tertawa kecil melihat kelakar aneh Pita. Ah, syukurlah Pita mengerti isyarat kecil yang
kuberikan. Mama dan Pita saling menggenggam tangan dengan erat. Aku tidak tahu
apa maksudnya, bahasa tubuh perempuan. Tapi dari raut itu, aku pikir mereka
terharu. Dasar perempuan.
Bukannya aku percaya dongeng itu, namun aku tidak menemukan cara yang lebih tepat untuk memberi tahu keluargaku selain cara ini. Aku bisa saja mengatakannya secara langsung, tapi kalau begitu di mana kejutannya? Hahaha. :p
“Hoi,
anak-anak, ayo! Kamera stand by!” seru Papa. Aku dan Tari menoleh ke kamera
bersamaan. Kali ini gadis itu tidak terlihat tegang, sama sekali. “Tiga...
dua... satu.”
2 komentar:
menarik...
arigatou ne~ #bow
Posting Komentar