ini ceritanya masih ada hubungan sama di notes facebook sih, haha :p sorry kalimatnya random banget, lagi stress UTS :p
KROMPYANGG!!!
Kontan Rasti menarik tangan dari keyboard dan menoleh ke asal suara berisik itu. Tanpa beranjak dari mejanya, gadis itu melotot heran pada Bunga yang sekonyong-konyong menghampiri meja Rasti, sambil sibuk meminta maaf atas kecerobohannya menyenggol nampan besi di meja minuman. Sesampainya ia di sebelah Rasti, malah disambut teguran sinis Rasti.
“Sudah dibilangin kalo jalan jangan meleng!”
Yang ditegur hanya cengar-cengir sesaat. Detik berikutnya, gadis itu menarik kursi di sebelah Rasti untuk duduk. Sepasang mata bulatnya bersinar memandang Rasti.
“Mbak, ada itu lho!” seru Bunga tak sabaran.
Rasti mengangkat sebelah alis.
“Itu apa?” tanya Rasti kalem.
“Uhh, itu lho, mantan pacar Mbak Rasti itu... aduh siapa, sih, tadi namanya?” tanya Bunga, lebih kepada otaknya sendiri. Bola matanya memutar ke langit-langit ruang guru.
Pacar? pikir Rasti. Seingat Rasti, ia punya banyak mantan pacar. Mantan pacar yang mana yang dulu ia ceritakan pada Bunga? Sepertinya hampir semua.
Tapi, Rasti menerka satu nama, yang pernah ia ceritakan pada Bunga dengan sungguh-sungguh.
“Andi?”
Barulah Bunga mengangguk cepat. “Iya, itu Mbak. Aku lupa habis namanya pasaran... eh!”
Bunga cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia merasa jahat mengatai cinta setengah mati Rasti memiliki nama yang pasaran. Rasti hanya terkekeh kecil. Ia mengiyakan perkataan Bunga, bahwa nama Andi itu memang pasaran. Banyak di pakai di buku cetak Bahasa Indonesia, dan sering jadi soal di buku cetak Matematika.
“Orangnya di mana? Kok kamu tau itu Andi? Kan belum pernah ketemu,” tanya Rasti lagi.
Bunga menurunkan kedua tangannya.
“Emm, di aula, salah satu pemateri seminar beasiswa,” jelasnya.
“Andi Satria, bukan?”
Sepasang pupil Rasti membesar kala telinganya menangkap nama itu, menandakan rasa itu masih ada padanya. Belum berubah sejak tiga tahun yang lalu.
* * *
Bunga celingukan. Gadis berkerudung merah itu tidak tahu harus berbuat apa. Kenapa Rasti mengajaknya untuk bertemu si mantan pacar itu? Kenapa tidak Rasti saja? Memangnya siapa Bunga, yang Rasti kenal baru satu tahun ini? Bunga juga guru baru di sini, belum di angkat menjadi guru tetap. Seharusnya ia tidak boleh masuk ke aula yang sedang ada acara ini.
Tetapi Rasti, seniornya, memaksa Bunga untuk ikut. Entah apa yang diinginkan Rasti darinya. Yang jelas, siang itu, Bunga benar-benar mematung kala seniornya berbincang-bincang dengan Andi, tentu saja setelah acara selesai.
Percakapan dibuka dengan menanyakan kabar masing-masing. Bunga sendiri tidak aktif berbicara, ia hanya menjadi pendengar yang baik bagi Rasti. Sekelebat cerita Rasti beberapa bulan yang lalu kembali berputar di benak Bunga.
Kala itu, Rasti memaksa Bunga untuk menceritakan kisah cintanya. Bunga rasa ia tidak memiliki kisah cinta apa-apa. Kalaupun ada, yang Bunga ceritakan adalah tentang Saga. Cerita SMU. Sewaktu kuliah, memang ada beberapa lelaki mendekati Bunga, tetapi Bunga tidak tertarik dan tidak menceritakannya. Terus terang Bunga masih tetap ingat pada Saga walau delapan tahun telah berlalu.
Sebagai gantinya, Rasti menceritakan bermacam-macam cerita cintanya dengan para mantan pacar kepada Bunga. Bunga menyimpulkan, dan dibenarkan oleh Rasti sendiri, Andi inilah yang masih ditunggu oleh Rasti. Penyebab pisah mereka tiga tahun lalu tidak simpel: tidak adanya restu dari orang tua Rasti, karena Rasti baru lulus kuliah, sedangkan Andi sudah lama lulus tetapi belum menemukan pekerjaan, alias pengangguran.
Pernah suatu kali Rasti dijodohkan oleh orang tuanya. Mulanya Rasti pasrah saja menuruti kehendak orang tuanya. Tetapi kian lama, hatinya memberontak. Ia tahu persis cintanya selalu tertuju pada Andi. Tepat seminggu sebelum akad nikah, semuanya bubar. Keluarga kedua belah pihak kecewa sejadi-jadinya pada Rasti.
Mau bagaimana lagi? Rasti tidak mau ambil resiko menikah dengan orang yang ia cintai setengah-setengah. Bisa kacau rumah tangganya nanti.
Rasti masih percaya pada janji Andi yang akan kembali padanya saat telah memiliki pekerjaan yang layak. Hari ini, Rasti dan Bunga tahu Andi telah mendapatkannya. Mendapatkan mata pencaharian yang layak untuk seorang kepala keluarga: HRD sebuah yayasan swasta penyalur beasiswa.
Tapi, di sinilah akar permasalahan.
“Rasti, aku harus kembali ke Jakarta, ya, sudah ditunggu petinggi-petinggi,” pamit Andi, walau laki-laki itu masih duduk di sebelah Rasti.
“Hah?”
Rasti ternganga pelan. Bunga ternganga dalam hati. Itu saja? pikir Rasti. Mengapa Andi tidak membahas hubungan mereka dulu, sama sekali? Ada apa? Tidakkah Andi ingin bertanya apakah Rasti sudah menikah atau belum?
“Salam untuk suami dan anakmu, ya,” Andi tersenyum tulus. “Kamu ini, menikah nggak mengundang aku!”
Rasti terbelalak. Kok? Menikah? Rasti? Kapan?! Dengan siapa?!
“I-iya...” sahut Rasti canggung. “Maaf, belum punya anak, kok, Di,”
Bunga yang hanya mendengar, benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Bagaimana Andi bisa mengira Rasti sudah menikah? Apa dia lupa tiga tahun ini Rasti menunggunya?
Andi tertawa kecil. “Oh, sabar ya, Ras,” ujarnya. “Ntar lagi insya Allah dikaruniai adik bayi. Nanti kalau punya adik bayi, undang aku, lho! Kemarin aku tahu pernikahanmu cuma dari Tania,”
“Ehm...” Rasti tersenyum getir.
Yang Rasti tahu, Tania hanyalah teman biasa Rasti, bukan teman dekatnya. Tania pasti tidak tahu bahwa pernikahan Rasti dibatalkan. Kenapa dari sekian banyak orang, harus dari Tania? Atau, kenapa harus Tania yang menebar gosip bahwa Rasti sudah menikah?
Rasti mendadak pening. Ia tak ingin berpikir apa-apa lagi. Wajahnya memerah menahan air mata yang belum menggenangi kelopaknya. Dengan sisa keberanian yang ada, Rasti membalas,
“Salam juga, untuk istri dan anakmu, Di,”
Andi tersenyum. “Iya aku sampaikan, Ras. Assalamualaykum,”
* * *
Setelah kepergian Andi, Bunga tidak berani berkata apa-apa kepada Rasti. Keduanya mematung dengan tatapan hampa, di aula, hanya berdua. Ketika didapatinya akal sehat itu kembali, Bunga melirik pada Rasti yang... menangis, tanpa suara, tanpa ekspresi, hanya air mata.
Bagi Bunga, Rasti yang menangis dengan rambut ikal tergerai, tubuhnya yang putih mulus, kakinya yang jenjang, kini tampak dua kali lebih cantik dari biasanya. Air mata itu hanya menetes dari salurannya, benar-benar tidak peduli dengan wajah pemiliknya yang tidak berekspresi apapun.
Bagaimana ini? Bagaimana ini?! Bunga berteriak pada otaknya.
Maka, satu-satunya hal yang terpikir oleh gadis itu, hanya memeluk Rasti. Hanya itu. Bunga ingat Citra pernah melakukan hal yang serupa di aula ini, ketika Bunga menangis karena Saga. Memiliki seseorang yang memeluk ketika menangis itu membuat Bunga selalu bisa tenang.
“Bunga,” bisik Rasti getir. “Kenapa jadi begini...?”
Mana Bunga tahu. Ini pastilah rencana Allah. Bagian dari takdir yang disediakan Allah. Sebuah ujian yang harus dilalui Rasti. Namun Bunga tak ingin menjawab, jika ia malah menggurui Rasti. Tidak untuk saat ini.
“Aku sudah, ergh... tiga tahun aku seperti ini, untuk apa...? Kenapa sia-sia?!”
Nggak sia-sia, Mbak, jawab Bunga di dalam hatinya. Bunga percaya Rasti sudah melakukan semua yang terbaik yang bisa ia lakukan. Bunga tidak bisa mengatakan ini, di saat seperti ini, tapi...
Allah pasti punya rencana. Dan rencana itu, adalah sebaik-baik balasan atas segala usaha yang Rasti lakukan.
* * *
Esoknya, Bunga lega, benar-benar lega karena Rasti masuk ke ruang guru, kembali duduk di mejanya, dengan senyum judes yang terlontar untuk Bunga seperti biasanya. Bunga hampir tidak percaya kalau kejadian kemarin itu menimpa Rasti, dan sekarang seniornya itu benar-benar terlihat normal.
Padahal, Bunga sudah membawa banyak camilan strawberry kesukaan Rasti di dalam tasnya, kalau-kalau seniornya itu menangis lagi. Tapi sepertinya hal itu tidak akan terjadi. Malah, Rasti mengajak Bunga makan, dan dengan ramahnya berkata akan mentraktir. Tumben sekali jika mengingat Rasti selalu ketus dan judes pada Bunga yang ceroboh itu.
Walau begitu, Bunga tahu Rasti aslinya baik sekali, secantik rupanya. Aduhai, sudah banyak teman laki-laki Bunga yang kalau melihat kedua gadis itu berjalan, memohon pada Bunga untuk dikenalkan pada Rasti. Rasti menerima saja, tetapi tidak ada yang lebih dari sekedar teman.
“Hei,” tegur Rasti. “Kenapa bengong?”
“Enggak papa, Mbak,” Bunga nyengir, sambil melet-melet kecil dan mengerjapkan mata. “Aih jus mangganya kecut!”
Rasti tertawa kecil melihat tingkah Bunga, seraya mengaduk jus strawberry-nya.
“Oh, ya, gimana kabarnya Saga-mu itu?”
Bunga berhenti melet-melet saat Rasti menyebut-nyebut nama Saga.
“Bukan Saga-ku kok,” kilah Bunga jujur. “Yaah, nggak tau, Mbak, delapan tahun nggak ketemu,”
“Nggak penasaran?” selidik Rasti. “Seenggaknya kamu punya akun facebook, twitter, email, atau apa gitu untuk komunikasi sama dia?”
“Punya facebook-nya aja,” jawab Bunga cepat. “Aku kan jarang banget online, Mbak. Sekalinya aku online, dia nggak. Aku nggak punya twitter juga,” jelasnya polos.
Benar sih, Rasti jarang sekali melihat Bunga online di facebook-nya. Itu bisa dua atau tiga bulan sekali. Rasti heran, jadi untuk apa orang seperti Bunga ini punya facebook?
“Kok kamu betah aja, sih, cinta sama orang yang hilang delapan tahun lalu?”
Bunga menatap Rasti sebentar, kemudian menjawab enteng dengan wajah merona, “Ya gimana, Mbak, nggak bisa dihilangin dari hati, hehehe...”
“Hati kamu masih bisa tenang? Nggak cemas sama perasaan dia, entah di mana, sekarang seperti apa?” selidik Rasti lebih dalam.
“Nggak sih, Mbak, kalo cemas atau nggak tenang,” jawab Bunga lagi, masih riang. “Aku selalu berpikir... aku ini jauh sama dia, Mbak. Jauuuhhh banget. Sudah dari SD dulu, aku sama dia bak langit ketujuh dan dasar bumi. Dia itu jenius, kaya, keren, dewasa, anak soleh, hebat pokoknya. Aku anak dusun, kucel, galak juga, nggak ada manis-manisnya. Aku belum cukup baik untuk dia. Dia pantas dapat perempuan yang lebih baik daripada aku,”
Rasti tergelak. Bisa-bisanya Bunga bercerita kisah cintanya, membanding-bandingkan dirinya dan Saga dengan air muka ditekuk, dan bibir mengerucut mencucu.
“Hahahaha!! Ya ampun, Bunga, kamu ini manis tau. Liat tuh, murid-murid cowok banyak yang naksir. Kamu nggak keliatan kayak berumur 22 tahun,” timpal Rasti.
“Aih, cinta monyet itu, mah,” cibir Bunga. Dalam hati ia heran, kalau yang SMU saja cinta monyet, bagaimana dengan dirinya dan Saga yang sudah dekat sejak SD, walau tidak satupun yang mengatakan cinta?
“Aku nggak berharap terlalu tinggi, Mbak,” ujar Bunga pelan, disertai senyum manisnya. “Aku siap-siap hati dan mental kalau kemungkinan terburuk yang terjadi. Kalau nggak jodoh. Nggak boleh berlemah-lemah karena cinta. Cinta yang benar adalah cinta yang menguatkan. Kalau nanti aku denger Saga nikah sama perempuan lain, aku sudah siap-siap, kok, insya Allah sudah kuat,”
Sejujurnya, Rasti agak terkesima mendengar penuturan jujur Bunga barusan. Tapi ia cepat-cepat berpikir...
“Heh, kamu nyindir aku, ya?! Maksudmu aku nggak kuat gara-gara kejadian kemaren!?” todong Rasti, melotot.
Bunga terkesiap. “Eh? Nggak, kok, Mbak!” kilahnya. Duh, lagi-lagi salah kalimat!
“Terus, kalo seandainya kalian jodoh gimana? Nggak siap-siap juga?” sindir Rasti lagi.
“Kalo jodoh ya udah happy ending alhamdulillah, dong, Mbak. Gimana, sih? Hihihi...”
***
0 komentar:
Posting Komentar