Assalamu'alaykum, halo pembaca :D
Lagi males pake bahasa bule, jadi pake bahasa persatuan. Akhir-akhir ini setiap nulis post baru, aku nggak nge-share di facebook, tapi tetep aja ada yang nge-view (yang jelas bukan aku). Aku nggak tau kalian siapa, kalian di mana, gimana kalian bisa sampai blog ini, tapi... thanks. Really. :')
Jadi kemaren, tiba-tiba aku diminta adekku bikin cerpen berdasarkan iklan di tipi. Katanya kalo gak bikin cerpen, dia gak boleh ikut UAS. Gak sopan lagi minta tolongnya lewat mention twitter. Coba aja gurunya punya twitter, pastilah aku mention juga.
Bingung mau pake iklan apa. Iklan di Indonesia mah nggak ada yang berkesan, berarti. Sekalinya ada, edisi Ramadhan, sayangnya itu iklan rokok. Emoh lah aku. Mikir mikir mikir cari iklan bagus, ternyata memang iklan di Indonesia nggak ada yang bermutu. Apaan tuh, "NYOT NYOT DIKENYOT, NYOT!!" ?
Dari hasil ngeyutub, akhirnya nemu iklan ini. Yah, lumayan bermutu dan ada maknanya, gak sekedar "NYOT NYOT DIKENYOT, NYOT!!" sumpah yeyek -______-"
Ini dia ceritanya, judul: TANGKAP!
Siapa tidak kenal dia? Kaus
bernomor punggung 0 besar, tubuh gendutnya, wajah bundarnya, dan semangatnya.
Ya, semangat laki-laki itu begitu besar. Bukan, ia bukan terkenal karena
semangat membaranya membawa keberhasilan. Sebaliknya, ia berulang kali jatuh
dan jatuh, hingga ia tak bisa menghitung sudah berapa kali ia terjatuh.
Adalah ia bernama Hap
(bukan nama sebenarnya), 22 tahun, pemuda kampung kecil Mendem Duren, di salah
satu kecamatan di Jakarta Utara. Tanya pada orang di kampung Mendem Duren,
siapa yang tidak tahu Hap, yang senang menangkap apapun sejak kanak-kanak? Yang
pandai mencairkan suasana dengan kepolosan tingkahnya? Yang meski jago
menangkap, ingin jadi kiper, tetapi tidak sekalipun berhasil menangkap bola
dengan baik?
Subuh di hari ke
sepuluh Ramadhan itu baru saja tiba. Seusai menunaikan kewajiban sholatnya, Hap
tidak lekas pulang dari mushola Istiqomah. Ia berdoa, atau tepatnya, mengeluh.
Mengeluh pada Allah. Mempertanyakan nasibnya yang tidak sedikitpun membaik di
kancah persepakbolaan.
Apa
yang kurang dariku, ya Rabbi?
Apa
usahaku sejak kecil masih saja tidak cukup?
Apa
doaku selama ini kurang, ya Allah?
Kenapa
orang lain bisa, aku tidak?
“Ya Allah, kenapa harus
selalu gagal jadi kiper...?”
Tanpa disadarinya,
sepasang bibir Hap berbisik lelah. Ia mendapati dirinya begitu lelah berusaha,
begitu lelah berdoa, bahkan mengeluh kepada Allah ia juga sudah lelah.
Impiannya, harapannya, bunga-bunga mimpinya untuk menjadi kiper bagai pungguk
merindukan bulan. Semuanya terasa sia-sia saja.
“Kita nggak pernah tau
hikmah dibalik kegagalan, Hap,”
Sebaris kalimat
bijaksana datang dari belakang Hap, seolah menjawab kegalauan hati Hap. Hap
celingukan mencari asal-muasal datangnya suara. Saat pupil matanya menangkap
sesosok manusia duduk bersandar pada salah satu pilar mushola, Hap berbalik
badan dengan cepat menghadap orang itu.
Seorang laki-laki muda
berkacamata, berbaju koko putih, berkopiah hitam, memegang sebuah buku yang
tengah dibaca. Ialah laki-laki yang menjawab Hap tadi, kini tersenyum pada Hap.
“Uje...?” ujar Hap
lamat-lamat, setengah tidak percaya.
Laki-laki yang
dipanggil Uje itu tetap tersenyum sembari berkata,
“Allah maha tahu apa
yang terbaik untukmu, Hap,”
Di dalam sanubarinya,
Hap meyakini hal ini. Ia tidak pernah lupa pesan Emaknya. Bagaimanapun
hasilnya, jika semua usaha telah diupayakan, itulah yang terbaik bagi kita. Sesungguhnya
Allah maha mengetahui, sedangkan manusia tidak.
“Teruslah ikhtiar,
tangkap semua kebaikan,” sambung Uje.
Hap tercenung, dengan
kepala tertunduk.
* * *
Sang raja siang masih
malu-malu untuk keluar ke peraduannya, ketika Hap berjalan pulang dari mushola
Istiqomah menuju rumahnya. Pandangannya masih tertunduk pada jalanan kampung
yang mulai ramai penduduk beraktivitas. Tangan kanannya secara tidak sadar mengayunkan
sajadah di genggamannya, dengan sangat lesu.
Sungguh benar nasihat
Uje barusan. Ikhtiarlah dan berdoa, Hap, maka Allah akan memberikan yang
terbaik untukmu. Hap sadar, tidak seharusnya ia berputus asa dari rahmat Allah.
Bukankah Allah begitu menyanyanginya, dengan masih memberi Hap napas hingga
saat ini untuk terus berikhtiar? Bukankah hidup ini adalah untuk ikhtiar dan
tentang ikhtiar? Bagaimana Hap bisa lupa hal sepenting ini?
Hap hanya mampu berucap
sesal dalam hatinya.
Ya
Allah, maafin Hap...
“Kebakaran!
KEBAKARAN!!!”
Hap seketika tersentak.
Penduduk kampung berlari-lari dengan gusar melewatinya. Pak Soleh dan istrinya
mendorong gerobak es serut mereka. Pak Rahmat tergesa-gesa membawa buntalan
besar untuk diselamatkan, entah apa isinya. Pak Wawan mengangkut televisi 20
inch dengan susah payah. Tanpa sadar Hap ikut berlari dengan mereka, lalu ia
berhenti, tak mengerti.
Kebakaran apa? Di mana?
Siapa? Bagaimana bisa? Apa sudah ada yang memadamkannya?
Hai,
Hap, mengapa harus lari juga? tanya hati Hap.
Tapi apa yang harus
dilakukan pun, Hap tak tahu. Mana ia tahu cara memadamkan api? Memangnya ia
pemadam kebakaran?
Tiba-tiba, sebelum hal
ini terlintas di benaknya, tahu-tahu kedua tangan Hap telah menggenggam
ponselnya. Ponsel yang tidak mahal, memang, tetapi cukup canggih untuk membuka browser dan terhubung ke internet.
Secara otomatis browser-nya terhubung ke Google, kala
Hap membukanya. Jemari gempalnya mengetik dengan serampangan, “how to die fire” dan entah apa saja
jawaban yang ditemukan oleh si mesin pencari. Banyak sekali!
Nanti saja. Yang paling
penting saat ini adalah memanggil pemadam kebakaran. Kalau Hap tidak salah
ingat, nomor darurat itu adalah 113. Maka Hap meneleponnya, dan wah,
tersambung! Tidak pernah sebelumnya Hap menelepon nomor panggilan darurat.
“Selamat pagi, dengan
siapa di mana?”
“Nama saya Hap!” sahut
Hap gelagapan, kelewat tegas. “Kebakaran, di kampung Mendem Duren, kecamatan XX
kelurahan YY Jakarta Utara!”
Setelah menutup
telepon, sekonyong-konyong Hap berlari menuju asal penduduk berlari, mengikuti
terang api yang membakar langit. Melewati beberapa tikungan, Hap sampai di
tempat itu.
Ya, Hap kenal sekali
tempat itu! Itu adalah rumah Neneng, teman sepermainan Hap sejak kanak-kanak.
Ada apa ini? Mengapa?!
Hap tidak bisa berpikir
lagi kala ia mendengar suara teriakan perempuan dari rumah itu. Suara yang Hap
kenal sekali. Bukankah itu suaranya? Suara Neneng? Tapi bagaimana bisa, Neneng
masih terperangkap di dalam api itu?
“Tolong!
TOLOONGG...!!!”
Ah, sungguh Hap ingin
marah. Ada apa dengan orang-orang ini? Mengapa mereka hanya sibuk memindahkan
barang-barang?! Tidakkah satu saja dari mereka, berniat menolong Neneng?!
Kemana juga pemadam kebakaran yang tadi Hap telepon? Mengapa belum sampai?!
“Teruslah ikhtiar,
tangkap semua kebaikan,”
Bagai nyanyian, pesan
Uje di mushola Istiqomah kembali terngiang di kedua daun telinga Hap. Benar,
lakukan kebaikan. Jika tidak ada yang berniat menolong Neneng, maka inilah
saatnya Hap beraksi. Saatnya ia menunjukkan ikhtiarnya kepada Sang Pencipta,
Yang Maha Kuasa, Allah.
Ya. Tekad Hap sudah
bulat, sebulat dirinya!
Maka, ia menerjang ke
dalam kobaran api dengan penuh semangat, masih dengan sarung melingkar di
pinggangnya. Dikibaskannya sajadah yang ada di genggaman untuk menghalau
kobaran api yang berulang kali mencoba mencakar dirinya. Sebuah kayu membara
hampir menimpanya, namun Hap menghalaunya dengan cekatan.
Ah, beruntung sekali ia
selalu mengenakan sarung tangan kiper itu kemana-mana. Telapak tangannya yang
berharga tidak terluka sedikitpun.
Di dalam rumah api itu,
sambil tetap mencoba menahan panasnya, Hap celingukan mencari asal suara
tangisan Neneng.
“Huuhuuhuuu...”
Tidak butuh waktu lama
untuk Hap menemukan Neneng yang sedang jongkok berlindung di bawah tangga,
menangis, dan melipat wajahnya dengan kedua tangan. Gadis kurus itu tampak
semakin kering di tengah-tengah hembusan api di sekelilingnya.
“Neneng!” seru Hap.
Gadis yang dipanggil
Neneng itu mengangkat kepala. Ia mengerjapkan mata. Entah karena matanya yang
rusak karena kebanyakan menangis, ia yakin saat ini sedang melihat bola basket
berbicara kepadanya. Benda bulat apa itu?
“Neneng, jump! Quickly! Come on!”
Hap membentangkan kedua
lengannya dengan semangat demi menolong temannya itu. Tidak lupa ia memberi
kata-kata penyemangat dengan bahasa Inggrisnya yang kacau. Neneng masih
bergeming tidak percaya, BOLA BASKET DARI MANA INI?! BISA BICARA PULA?!
“Hah?” gumam Neneng
bingung.
Fiuh! Hap menghembuskan
napas lelah.
“Udah, buruan panas,
nih!” pintanya.
Keajaiban terjadi
setelah Neneng mengucek kedua matanya. Bola basket itu berubah menjadi sosok
Hap, pahlawan yang siap menolongnya!
* * *
Panasnya si jago merah
tidak menyurutkan niat Hap untuk membopong Neneng keluar dengan selamat. Berkat
ikhtiar gigihnya, kini mereka berhasil keluar dari rumah api. Tidak ada yang
berubah dari Hap, kecuali wajahnya yang kini menghitam karena arang, kaus
kipernya yang kotor, dan penduduk kampung... yang entah dari mana, berkumpul di
depan rumah api, menyoraki keberhasilan Hap dengan suka cita penuh haru.
Tidak pernah sebelumnya
Hap mendapat pujian dan apresiasi yang begini besar, hanya karena menyelamatkan
nyawa temannya. Ah, Hap yang polos. Ini tidak sekedar ‘hanya’. Ia telah
melakukan segala yang terbaik untuk menyelamatkan Neneng, dan atas izin Allah,
Hap berhasil.
Hap menurunkan Neneng
dari bopongannya. Syukurlah gadis itu masih bisa berjalan normal, walau jelas
sekali ia masih sangat takut pasca kejadian barusan. Neneng dibawa oleh warga
untuk ditenangkan dan diobati luka-lukanya.
Warga laki-laki, yang
telah selesai mengangkut barang-barang dari rumah Neneng kini mengerumuni Hap,
memberi ucapan selamat bertubi-tubi kepada Hap. Hap menerima salam mereka
satu-persatu. Hap tidak pernah merasa sebelumnya, hari ini ia benar-benar telah
menjadi pahlawan bagi Neneng.
“Hap, elu kagak
kenape-nape, kan?”
“Hap, lu keren!”
“Hap, lu berani banget
masuk ke api!”
“Iye, Hap, kite-kite
pada gak berani masuk situ,”
“Iye, mustahil keluar
rasanye. Tapi lu bisa!”
Hap hanya mengangguk
dan tersipu malu, tidak bisa berkata-kata. Begitulah Hap, begitu rendah hati,
hanya anggukan kecil yang datang darinya. Ia hanya mengikuti naluri hatinya,
mendengarkan nasihat Uje, lalu tahu-tahu tubuhnya tergerak untuk menolong
Neneng. Itu saja.
Kerumunan di sekitar
Hap menyingkir, saat lima orang pemuda berkacamata hitam menghampiri Hap. Hap
tahu benar siapa mereka. Klub sepak bola yang begitu diidolakannya... Chuters
United!
Tria, sang kapten,
menepuk pundak Hap yang masih ternganga tak percaya. Laki-laki itu berkata
dengan mantap,
“Hap, bergabunglah
bersama Chuters United!”
Inilah Hap, dan buah
ikhtiarnya. Bagaimana ikhtiarmu?
-- END --
0 komentar:
Posting Komentar